BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lingkungan merupakan suatu hal yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupuan manusia. Hal itu dikarenakan dimana
seseorang hidup maka akan tercipta suatu lingkungan yang berbeda dan
sebaliknya. Akhir-akhir ini sering kali ditemukannya suatu pengrusakan
lingkungan oleh manusia dengan alasan pemanfaatan untuk menghasilkan materi
yang lebih, secara tidak langsung tindakan ini akan mengakibatkan terkikisnya
lingkungan dan mengancam pada kelangsungan hidup manusia. Disamping itu
keteloderan manusia dalam mendirikan bangunan dengan tanpa memperhatikan dampak
dari usaha atau industri yang akan berlangsung pada bangunan tersebut juga akan
merusak lingkungan baik fisik maupun biologis secara perlahan dan tidak
langsung, sehingga menghasilkan pencemaran lingkungan.
Pencemaran
lingkungan merupakan suatu proses masuknya bahan atau energi ke dalam
lingkungan yang dapat menyebabkan timbulnya perubahan
yang tidak dikehendaki baik dari segi fisik, kimiawi maupun biologis sehingga
berdampak negatif bagi kesehatan, keberadaan makhluk hidup khususnya manusia
dan organisme lainnya. Perkembangan
ekonomi yang terjadi di seluruh dunia berhasil mendorong terjadinya perubahan
dan pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Pembangunan sebuah
daerah membutuhkan ijin khusus dari pemerintah daerah karena pembangunan yang
terjadi akan mempengaruhi keseimbangan alam apabila pembangunan tersebut tidak
dibangun didaerah yang seharusnya.
Pemerintah dalam memberikan ijin
dalam pembangunan sebuah bangunan memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi
oleh setiap kalangan yang akan melakukan pembangunan disuatu daerah, dalam
suatu pemerintahan pasti memiliki suatu lembaga yang bertanggung jawab terhadap
lingkungan hidup, dimana lembaga ini menjalankan kekuasannya dalam semua elemen
yang ada di negara tersebut dan lembaga ini bertujuan untuk menganalisis dampak
lingkungan hidup. Pengertian analisis mengenai dampak
lingkungan berkaitan erat dengan pemahaman manusia terhadap perubahan yang
diakibatkan oleh suatu kegiatan. Dalam hal kegiatan ini tentu melibatkan aspek
aktivitas, baik berkaitan dengan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Aspek
perencanaan terkait dengan pemikiran manusia dalam membuat kerangka berpikir,
cetak biru atau blue print tentang apa yang layak dan apa yang
tidak layak untuk dikembangkan. Dalam hal ini manusia dapat merancang kegiatan
yang akan dilakukan dan pengaruhnya terhadap lingkungan hidup. Kegiatan
analisis mengenai dampak lingkungan dilakukan sebelum pelaksanaan proyek
pembangunan atau kegiatan usaha dilakukan, dalam hal ini yaitu lingkungan di
sekitar perkantoran Telkomsel.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka
diperoleh suatu perumusan masalah yang ada. Permasalahan yang ditemukan dalam
analisis dampak lingkungan hidup ini adalah bagaimana pengaruh nyata dalam
berdirinya suatu bangunan dan dampak yang didapat bagi alam
1.3
Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah yang dapat dibuat dari analisis
dampak lingkungan hidup ini adalah penelitian dilakukan terhadap berdirinya
perkantoran Telkomsel yang terletak dijalan Simatupang. penelitian dilakukan
dengan wawancara langsung warga atau masyarakat yang ada disekitar perkantoran.
1.4
Tujuan Penulisan
Tujuan utama dari analisis dampak lingkungan hidup
ini adalah untuk mengetahui apakah sebuah bangunan layak berdiri atau tidak,
mengetahui dampak positif dan dampak negatif dari berdirinya bangunan tersebut
dan mengetahui struktur tanah sebelum pembangunan bangunan perkantoran
Telkomsel.
1. Upaya yang Dilakukan Pemerintah
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 PENGERTIAN
LINGKUNGAN
Pengertian lingkungan
adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang memengaruhi perkembangan
kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan bisa
dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Jika kalian berada di sekolah,
lingkungan biotiknya berupa teman-teman sekolah, bapak ibu guru serta karyawan,
dan semua orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di
kebun sekolah serta hewan-hewan yang ada di sekitarnya.
Adapun lingkungan abiotik berupa udara, meja
kursi, papan tulis, gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada di
sekitar. Seringkali lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut juga
sebagai lingkungan sosial.
2.2 LINGKUNGANHIDUP
Secara khusus, kita sering menggunakan istilah lingkungan
hidup untuk menyebutkan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup segenap makhluk hidup di bumi. Adapun berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997,
lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk
hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Unsur-unsur lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Unsur Hayati (Biotik)
1. Unsur Hayati (Biotik)
Unsur hayati (biotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang
terdiri dari makhluk hidup, seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan jasad
renik. Jika kalian berada di kebun sekolah, maka lingkungan hayatinya didominasi oleh tumbuhan. Tetapi jika
berada di dalam kelas, maka lingkungan hayati yang dominan adalah teman-teman
atau sesama manusia.
2.
Unsur Sosial Budaya
Unsur sosial budaya, yaitu lingkungan sosial dan budaya yang
dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan keyakinan dalam
perilaku sebagai makhluk sosial. Kehidupan masyarakat dapat mencapai
keteraturan berkat adanya sistem nilai dan norma yang diakui dan ditaati oleh
segenap anggota masyarakat.
3. Unsur Fisik (Abiotik)
3. Unsur Fisik (Abiotik)
Unsur fisik (abiotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang terdiri dari benda-benda tidak hidup,
seperti tanah, air, udara, iklim, dan lain-lain. Keberadaan
lingkungan fisik sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup segenap
kehidupan di bumi. Bayangkan, apa yang terjadi jika air tak ada lagi di muka
bumi atau udara yang dipenuhi asap? Tentu saja kehidupan di muka bumi tidak
akan berlangsung secara wajar. Akan terjadi bencana kekeringan, banyak hewan
dan tumbuhan mati, perubahan musim yang tidak teratur, munculnya berbagai
penyakit, dan lain-lain.
2.3 UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak
bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau
pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di bumi, dari
balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan
lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi
terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak. Upaya
pemerintah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa
harus menimbulkan kerusakan lingkungan ditindaklanjuti dengan menyusun program
pembangunan berkelanjutan yang sering disebut sebagai pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan adalah usaha meningkatkan kualitas manusia secara
bertahap dengan memerhatikan faktor lingkungan. Pembangunan berwawasan
lingkungan dikenal dengan nama Pembangunan Berkelanjutan. Konsep pembangunan
berkelanjutan merupakan kesepakatan hasil KTT Bumi di Rio de Jeniro tahun 1992.
Di dalamnya terkandung 2 gagasan penting, yaitu:
·
Gagasan
kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok manusia untuk menopang hidup.
·
Gagasan
keterbatasan, yaitu keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
baik masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Adapun ciri-ciri Pembangunan Berwawasan Lingkungan adalah sebagai berikut:
a. Menjamin pemerataan dan keadilan.
Adapun ciri-ciri Pembangunan Berwawasan Lingkungan adalah sebagai berikut:
a. Menjamin pemerataan dan keadilan.
b. Menghargai keanekaragaman hayati.
c. Menggunakan pendekatan
integratif.
d. Menggunakan
pandangan jangka panjang.
Pada masa
reformasi sekarang ini, pembangunan nasional dilaksanakan tidak lagi
berdasarkan GBHN dan Propenas, tetapi berdasarkan UU No. 25 Tahun 2000, tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN).
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mempunyai tujuan di antaranya:
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mempunyai tujuan di antaranya:
a. Menjamin tercapainya penggunaan
sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
b. Mengoptimalkan partisipasi
masyarakat.
c. Menjamin keterkaitan dan konsistensi
antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
1. Upaya yang Dilakukan Pemerintah
Pemerintah
sebagai penanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya memiliki tanggung
jawab besar dalam upaya memikirkan dan mewujudkan terbentuknya pelestarian
lingkungan hidup. Hal-hal yang dilakukan pemerintah antara lain:
a. Mengeluarkan UU Pokok Agraria No. 5
Tahun 1960 yang mengatur tentang Tata Guna Tanah.
b. Menerbitkan UU No. 4 Tahun 1982, tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
c. Memberlakukan Peraturan Pemerintah
RI No. 24 Tahun 1986, tentang AMDAL (Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan).
d. Pada tahun 1991, pemerintah
membentuk Badan Pengendalian Lingkungan, dengan tujuan pokoknya:
1)
Menanggulangi
kasus pencemaran.
2)
Mengawasi
bahan berbahaya dan beracun (B3).
3)
Melakukan
penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
2.4
Lingkungan
Hidup
Lingkungan hidup adalah
semua benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang
tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya.
Beberapa definisi lingkungan hidup antara lain (Siahaan, Nommy H.T, 2004):
1. Prof.
Dr. St. Munadjat Danusaputro, SH mengartikan lingkungan hidup sebagai semua
benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang
terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta
kesejahteraan manusia dan jasad hidu lainnya.
2. Menurut
pengertian juridis, seperti diberikan oleh Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982 (UUPLH 1982), lingkungan
hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya dan keadaan dan
makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.
3. Emil
Salim mengartikan lingkungan hidup ialah segala benda, kondisi, keadaan dan
pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal
yang hidup termasuk kehidupan manusia.
4. Otto
Soemarwot mengartikan lingkungan hidup adalah jumlah semua benda dan kondisi
yang ada dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk
kehidupan manusia.
2.5 Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan
lingkungan hidup berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan, penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup.
1. Pandangan
Immanen dan Transenden
Didalam ekologi, manusia dipandang
sama dengan makhluk hidup yang lain. Manusia tidak mementingkan dirinya
sendiri, tetapi yang dipentingkan adalah keserasian hubungan antara manusia dan
alam. Pandangan yang demikian dinamakan pandangan immanen. Namun, saat ini
manusia dipandang berada di luar alam. Pandangan yang demikian disebut
pandangan yang transsenden.
2. Pengelolaan
Lingkungan Tugas Manusia
Hakikat pengelolaan lingkungan
hidup bukan hanya mengatur lingkungannya, tetapi didalamnya termasuk mengatur
dan mengendalikan berbagai kegiatan manusia agar berlangsung dan berdampak
dalam batas kemampuan dan keterbatasan lingkungan untuk mendukungnya. Manusia
perlu secara rutin mengelola lingkungan hidup agar dapat memanfaatkannya secara
optimal
3. Pembangunan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan lingkungan perlu
dilakukan sejah dini agar pembangunan yang makin pesat pelaksanaannya dapat
memanfaatkan lingkungan hidup melalui penataan, pemeliharaan, pengawasan,
pengendalian, pemulihan, dan pengembangan. Pembangunan tidak saja mendatangkan
manfaat, tetapi juga menimbulkan resiko terjadinya kerusakan lingkungan.
Pembangunan pada hakikatnya bertujuan untuk menimbulkan keragaman dan
diversifikasi dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
4. Tujuan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan pengelolaan lingkungan hidup
berdasarkan UU No. 23 tahun 1997 adalah sebagai berikut:
a.
Tercapainya keselarasan, keserasian, dan
kesimbangan antara manusia dan lingkungan hidupnya.
b.
Terwujudnya manusia Indonesia sebagai
insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina
lingkungan hidup.
2.6
Kegunaan
AMDAL
Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) memiliki beberapa kegunaan. Kegunaan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang dapat diperoleh adalah:
1. Bahan
bagi perencanaan pembangunan wilayah.
2. Membantu
proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana
usaha dan/atau kegiatan.
3. Memberi
masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau
kegiatan.
4. Memberi
masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
5. Memberi
informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha
dan atau kegiatan.
6. Memberikan
alternatif solusi minimalisasi dampak negatif.
7.
Digunakan untuk mengambil keputusan
tentang penyelenggaraan/pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan.
2.7
Tujuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (AMDAL)
Tujuan umum Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah menjaga dan meningkatkan
kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi
serendah mungkin. Sementara tujuan studi AMDAL adalah mengidentifikasi rencana
kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak penting, mengidentifikasi
komponen atau parameter lingkungan yang akan terkena dampak penting, melakukan
prakiraan dan evaluasi dampak penting sebagai dasar untuk menilai kelayakan
lingkungan. Studi AMDAL diharapkan usaha dan/atau kegiatan pembangunan dapat
memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien, meminimumkan dampak
negatif dan memaksimalkan dampak positif terhadap lingkungan hidup. Proses
AMDAL kemudian menjadi wajib dilakukan bagi setiap rencana usaha dan atau
kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak penting (Mukono, 2005).
2.8 Aturan Hukum Mengenai Lingkungan
Istilah “hukum lingkungan” merupakan
konsepsi yang relatif masih baru dalam dunia keilmuan pada umumya dan dalam
lingkungan ilmu hukum pada khususnya, yang tumbuh sejalan bersamaan dengan
tumbuhnya kesadaran akan lingkungan. Dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran
melindungi dan memelihara lingkungan hidup tersebut, tumbuh pula perhatian
hokum terhadap lingkungan. Pemikiran untuk mengkaji dan mengembangkan masalah
lingkungan hidup di Indonesia untuk pertama kali dimulai pada tahun 1972,
ketika Mochtar Kusuma-Atmadja menyampaikan beberapa pikiran dan sarannya
tentang bagaimana pengaturan hukum mengenai masalah lingkungan hidup manusia
dengan menunjukkan betapa pentingnya peranan hukum untuk keperluan tersebut.
Adapun pengaturan hukum mengenai masalah lingkungan hidup manusia yang perlu
dipikirkan, menurut Mochtar Kusuma
Atmadja adalah sebagai berikut:
1. Peranan hukum adalah untuk menstrukturkan
keseluruhan proses sehingga kepastian dan ketertiban terjamin. Adapun isi
materi yang harus diatur ditentukan oleh ahli-ahli dari masing-masing sektor,
di samping perencanaan ekonomi dan pembangunan yang akan memperhatikan dampak
secara keseluruhan.
2. Cara pengaturan menurut hukum
perundang-undangan dapat bersifat preventif dan represif, sedangkan
mekanismenya ada beberapa macam yang antara lain dapat berupa perijinan,
insentif, denda dan hukuman.
3. Cara
pendekatan atau penanggulangannya dapat bersifat sektoral, misalnya perencanaan
kota, pertambangan, pertanian, industri, pekerjaan umum, kesehatan dan
lain-lain. Dapat juga dilakukan secara menyeluruh dengan mengadakan
undang-undang pokok mengenai Lingkungan Hidup Manusia (Law on the Human Environment atau Environmental Act) yang merupakan dasar bagi pengaturan sektoral .
4. Pengaturan
masalah ini dengan jalan hukum harus disertai oleh suatu usaha penerangan dan
pendidikan masyarakat dalam soal-soal lingkungan hidup manusia. Hal ini karena
pengaturan hukum hanya akan berhasil apabila ketentuan-ketentuan atau peraturan
perundang-undangan itu di pahami oleh masyarakat dan dirasakan kegunaannya.
5.
Efektifitas pengaturan hukum masalah lingkungan hidup manusia tidak dapat
dilepaskan dari keadaan aparat administrasi dan aparat penegak hukum sebagai
prasarana efektivitas pelaksanaan hukum dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Hukum
lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dan memberi manfaat
kepada masyarakat. Dengan kata lain harus ada kepastian hukum didalamnya. Dalam
pembangunan hukum lingkungan, diperlukan
adanya kepastian hukum karena kepastian hukum menghendaki bagaimana hukumnya
dilaksanakan, tanpa peduli bagaimana pahitnya (fiat justitia et pereat mundus : meskipun dunia ini runtuh hukum
harus ditegakkan). Hal ini dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam
masyarakat. Misalnya: “Barang siapa mencemarkan lingkungan maka ia harus
dihukum”, ketentuan ini menghendaki agar siapapun (tidak peduli jabatannya)
apabila melakukan pencemaran lingkungan maka ia harus dihukum.
A.
Undang
– Undang Lingkungan Hidup
Pada tahun 1982, Indonesia menyusun
undang-undang tersendiri mengenai kebijakan lingkungan hidup. Undang-undang
yang mengatur hal ini ialah undang-undang no.4 tahun 1982 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (LN 1982 Nomor 12, TLN 3215). Sejak diundangkannya UU No. 4
Tahun 1982, berbagai produk peraturan perundang-undangan resmi telah berhasil
ditetapkan sebagai kebijakan yang diharapkan dapat dijadikan pegangan dalam
setiap gerak dan langkah pembangunan yang di lakukan, baik oleh pemerintah,
masyarakat, maupun badan-badan usaha. Seiring dengan perkembangan, maka UU No.
4 Tahun 1982 direvisi dengan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup Nomor 23 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 No.
68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699). ). Pada dasarnya, UU No 23 Tahun 1997
telah menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan,
dimana hal undang-undang ini merupakan penyempurnaan terhadap undang-undang
sebelumnya. Kemudian pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan instrumen
hukum yang baru guna menggantikan UU No 23 tahun 1997 mengingat berbagai
perubahan situasi dan kondisi terkait permasalahan Lingkungan Hidup yang
terjadi di Indonesia. Karena itulah, perbedaan yang paling mendasar dari UU No
23 Tahun 1997 dengan UU No 32 Tahun 2009 adalah adanya penguatan pada UU
terbaru ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan Lingkungan
Hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam
setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan Lingkungan Hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan
pengintegrasian aspek transparansi,partisipasi, akuntabilitas dan keadilan. Terdapat
beberapa istilah dalam UU ini antara lain:
·
Lingkungan hidup
Adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan
perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta mahluk hidup lain.
·
Pengelolaan Lingkungan hidup
Merupakan upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian
lingkungan hidup.
·
Pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup
Merupakan upaya
sadar dan terencana yang memadu lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke
dalam pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan.
·
Ekosistem
Adalah tatanan
unsur lingkungan hidup dan merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi membentuk suatu keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas
lingkungan hidup.
·
Pelestarian lingkungan hidup
Adalah
rangkaian upaya upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.
·
Daya lingkungan
hidup
Kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup.
·
Pelestarian daya dukung lingkungan
hidup
Merupakan
rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap terhadap
tekanan perubahan dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan
agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain.
·
Daya tampung lingkungan hidup
Kemampuan
lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang
dibuang kedalamnya.
·
Pelestarian
daya tampung lingkungan hidup
Rangkaian upaya untuk melindungi daya
tampung lingkungan hidup.
·
Sumber daya
Adalah unsur
lingkungan hidup yang teriri dari sumber daya alam baik hayati maupun non
hayati, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
·
Baku mutu lingkungan hidup
Ukuran batas
atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada dan atau unsur
pencemar yang keberadaanya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur
lingkungan hidup.
·
Pencemaran lingkungan hidup
Merupakan
masuknya atau dimasukannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai
ketingkat tertentu yang ,menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi
sesuai dengan peruntukannya.
·
Kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup
Merupakan
ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati yang dapat diterima.
·
Perusakan lingkungan hidup
Merupakan
tindakan yang menimbulkan perubahan langsung dan atau tidak langsung terhadap
sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi lagi untuk menunjang pembangunan berkelanjutan.
·
Konservasi
sumber daya alam
Adalah
pengelolaan sumber daya alam tak terbarui untuk menjamin pemanfaatannya secara
bijaksana dan sumberdaya alam terbarui untuk menjamin kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya.
·
Limbah
Sisa suatu usaha atau kegiatan.
·
Bahan berbahaya dan beracun
Merupakan bahan
yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
·
Limbah bahan
berbahaya dan beracun
Sisa suatu
kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat atau
konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup
manusia serta mahluk hidup lain.
·
Sengketa lingkungan hidup
Merupakan
sengketa yang ditimbulkan karena adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup.
·
Dampak
lingkungan hidup
Pengaruh
perubahan terhadap lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha atau
kegiatan.
·
Organisasi lingkungan hidup
Organisasi yang tujuan kegiatannya di
bidang lingkungan hidup.
·
Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan hidup
Kajian mengenai
dampak besar dan dan penting suatu dan atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hoidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan suatu usaha atau kegiatan.
·
Audit lingkungan hidup
Proses evaluasi
terhadap pertanggungjawaban terhadap ketaatan dalam menjaga lingkungan hidup
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup berisi:
·
Pelaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup dimaksudkan
untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang guna menunjang
terlaksananya pembangunanberkelanjutan serta dengan memperhatikan
tingkat kesadaran masyarakat serta
perkembangan lingkungan global.
·
Setiap orang mempunyai hak
yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak atas
informasi yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan
lingkungan hidup dan setiap orang berhak
danberkewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup serta
berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup.
B. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, menteri Negara
lingkungan hidup memutuskan untuk mengeluarkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012 tentang keterlibatan masyarakat dalam
proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan izin lingkungan. Berikut
merupakan isi yang terdapat dalam peraturan tersebut:
Pasal
1
Pedoman keterlibatan masyarakat dalam proses analisis
mengenai dampak lingkungan hidup dan izin lingkungan dimaksudkan sebagai acuan:
a.
Pelaksanaan
keterlibatan masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup;
dan
b.
Pelaksanaan
keterlibatan masyarakat dalam proses izin lingkungan
Pasal 2
Pelaksanaan
keterlibatan masyarakat dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan
izin lingkungan dilakukan berdasarkan pronsip dasar:
a.
Pemberian
informasi yang transparan dan lengkap;
b.
Kesetaraan
posisi diantara pihak-pihak yang terlibat;
c.
Penyelesaian
masalah yang bersifat adil dan bijaksana; dan
d.
Koordinasi,
komunikasi dan kerjasama dikalangan pihka-pihak yang terkait.
Pasal 3
Pedoman
keterlibatan masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup
dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
Pedoman
keterlibatan masyarakat dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 memuat:
a.
Pendahuluan;
b.
Tata cara pengikutsertaan
masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup; dan
c.
Tata cara pengikutsertaan
masyarakat dalam proses izin lingkungan.
Pasal 5
Pada saat
Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor 08 Tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan
Informasi dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung
sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
C. Peraturan Pemerintah
Pemerintah telah mensahkan dan
mengundangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan pada tanggal 23 Pebruari tahun 2012. Sejak saat itu PP Nomor 27
Tahun 1999 tentang amdal telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Peraturan ini merupakan PP pertama
yang selesai dibuat dari 20 PP yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPH) harus
selesai satu tahun setelah UUPPH diundangkan. Artinya setelah hampir 3 Tahun
usia UUPPH baru 1 peraturan pelaksananya berupa PP yang diselesaikan.
Peraturan Pemerintah tentang izin
lingkungan ini telah menjawab pertanyaan para praktisi dan istitusi pengelola
lingkungan hidup di negeri ini seperti apakah wujud dari izin lingkungan
tersebut, apa bedanya dengan persetujuan kelayakan lingkungan, rekomendasi
UKL-UPL, dan izin-izin yang sudah ada selama ini seperti izin pengelolaan
limbah B3, izin land aplikasi, dan lain-lain.
Izin lingkungan adalah izin yang
wajib dimiliki setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Dari defenisi
tersebut dapat diketahui bahwa izin lingkungan dilakukan pada saat kegiatan
belum dilaksanakan dan untuk mendapatkannya rencana usaha dan/atau kegiatan
harus sudah memiliki dokumen amdal atau formulir UKL-UPL. Izin lingkungan ini
akan menjadi persyaratan dalam memperoleh izin operasi rencana usaha dan/atau
kegiatan. Jadi izin usaha tidak akan diterbitkan jika izin lingkungan tidak ada
dan izin lingkungan tidak akan diterbitkan jika tidak ada dokumen amdal atau
formulir UKL-UPL.
PP ini mengatakan bahwa tata cara
mendapatkan izin lingkungan seperti, harus menyampaikan:
a.
Dokumen
Amdal atau formulir UKL-UPL;
b.
Dokumen
pendirian Usaha dan/atau Kegiatan; dan
c.
Profil
Usaha dan/atau Kegiatan.
Kemudian izin lingkungan tersebut
sebelum diterbitkan terlebih dahulu harus diumumkan kepada masyarakat di lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan untuk mendapatkan saran, pendapat dan tanggapan
dari masyarakat. Saran, pendapat dan tanggapan tersebut disampaikan oleh wakil
masyarakat yang terkena dampak yang menjadi anggota komisi penilai amdal.
Penerbitan izin lingkungan dilakukan bersamaan dengan diterbitkannya keputusan
kelayakan lingkungan atau rekomendasi UKL-UPL.
Izin lingkungan ini paling tidak memuat beberapa hal yaitu:
a.
Persyaratan
dan kewajiban yang dimuat dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau
Rekomendasi UKL-UPL;
b.
Persyaratan
dan kewajiban yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota; dan
c.
Berakhirnya
Izin Lingkungan. Masa berlaku izin lingkungan ini sama dengan masa berlaku izin
usaha dan/atau kegiatan.
Peraturan pemerintah ini juga mewajibkan
bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan wajib memiliki izin perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Izin ini berbeda dari izin lingkungan. Izin
lingkungan diperoleh sebelum usaha dan/atau kegiatan beroperasi tetapi
perizinan lingkungan dapat diperoleh setelah usaha dan/atau kegiatan
beroperasi. Jenis perizinan lingkungan yang diatur dalam PP ini antara lain:
izin pembuangan limbah cair, izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke
tanah, izin penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya dan beracun, izin
pengumpulan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pengangkutan limbah bahan
berbahaya dan beracun, izin pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan beracun,
izin pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin penimbunan limbah
bahan berbahaya dan beracun, izin pembuangan air limbah ke laut, izin dumping,
izin reinjeksi ke dalam formasi, dan/atau izin venting.
Kewenangan Pusat, Provinsi dan
kab/kota dalam hal penerbitan dan pengawasan izin lingkungan juga diatur dengan
jelas dalam PP ini. Menteri menerbitkan izin lingkungan untuk rencana usaha
dan/atau kegiatan yang Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi
UKL-UPL diterbitkan oleh Menteri;
Gubernur, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi
UKL-UPL yang diterbitkan oleh gubernur; dan Bupati/walikota, untuk Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh
Bupati/Walikota.
Peraturan Pemerintah ini juga
mengatur secara detail tentang amdal karena PP ini sekaligus juga merupakan
pengganti terhadap PP nomor 27 tahun 1999 tentang amdal. Dalam PP 27 Tahun 2012
ini dikatakan bahwa dokumen amdal yang kita kenal selama ini terdiri dari 5
(lima) dokumen, sekarang menjadi 3 (tiga) dokumen yaitu dokumen KA-ANDAL,
dokumen ANDAL dan dokumen RKl-RPL. Kewenangan komisi penilai amdal dan
keanggotaan dalam komisi penilai amdal juga diatur secara rinci dalam PP ini.
Peraturan ini dengan tegas
memberikan larangan kepada Pegawai Negeri Sipil Pegawai negeri sipil yang
bekerja pada instansi lingkungan hidup Pusat, provinsi, atau kabupaten/kota
menjadi penyusun amdal atau UKL-UPL kecuali dalam hal instansi lingkungan hidup
Pusat, provinsi, atau kabupaten/kota bertindak sebagai Pemrakarsa, pegawai
negeri sipil dimaksud dapat menjadi penyusun amdal atau UKL-UPL.
Salah satu yang menarik dari PP ini
adalah adanya kejelasan dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran amdal dan
UKL-UPL. Dengan PP nomor 27 tahun 1999 sulit melakukan penegakan hukum terhadap
pelanggaran amdal dan UKL-UPL mengingat amdal dan UKL-UPL bukan keputusan tata
usaha negara (TUN). Pada PP nomor 27
Tahun 2012 ini, dimana jelas izin lingkungan yang didalamnya termuat amdal atau
UKL-UPL merupakan keputusan TUN yang mempunyai konsekuensi hukum atas pelanggarannya
sebagaimana diatur dalam UUPPH. Jadi amdal dan UKL-UPL yang selama ini dianggap
dan dalam prakteknya hanya dibuat untuk memenuhi persyaratan mendapatkan izin
operasional, dengan PP ini maka hal itu dapat dipastikan tidak akan terulang
lagi. Pengenaan sanksi tidak hanya terhadap pemrakarsa tetapi juga kepada
pemerintah.
Satu hal yang menjadi pertanyaan
dengan keluarnya PP ini adalah apakah PP merupakan juga PP tentang amdal
sebagaiman yang diamanatkan UUPPLH pada Pasal 33 yang menyatakan bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai amdal akan diatur dengan Peraturan Pemerintah
atau hanya tentang Izin lingkungan sebagaimana diamanatkan dalam UUPPLH Pasal
41. Melihat substansi dari Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2012 dan melihat
Pasal 74 dalam PP ini yang telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi PP
nomor 27 tahun 1999 tentang amdal, maka seharusnya judul dari PP ini
adalah Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 tentang Amdal dan Izin Lingkungan. Dengan
demikian selain judulnya menggambarkan isinya, sekaligus juga sejalan dengan
pemenuhan mandat UUPPLH bahwa akan ada PP yang mengatur tentang Amdal.
Dengan demikian sejak PP ini
diberlakukan, maka seluruh aktifitas penysunan dan penilaian amdal dan
pemeriksaan UKL-UPL sudah harus menyesuaikan dan terminologi izin lingkungan
sudah dapat digunakan dalam proses pengurusan izin usaha dan/atau kegiatan. Dimana
izin lingkungan akan diterbitkan bersamaan dengan penerbitan surat keputusan
kelayakan lingkungan dan rekomandasi UKL-UPL. Dalam hal dokumen amdal, maka
pemrakarsa hanya akan menyerahkan dokumen KA-ANDAL, ANDAL dan RKL-RPL kepada
Tim Teknis atau Komisi Penilai AMDAL dan tidak wajib membuat Ringkasan
Eksekutif.
D. Keputusan Gubernur
Pembangunan yang semakin meningkat akan menimbulkan dampak
terhadap lingkungan yang semakin besar dan memerlukan pengendalian sehingga
pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Pengaduan
masyarakat atas kasus pencemaran maupun kerusakan lingkungan semakin meningkat
sejalan dengan perkembangan pembangunan yang pesat dan meningkatnya kesadaran
masyarakat tentang hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Diperlukan upaya penting
dalam pengendalian dampak lingkungan adalah melakukan pengelolaan pengaduan
kasus pencemaran maupun kerusakan lingkungan dan dalam
rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan lingkungan, perlu
menetapkan Mekanisme Penanganan Pencemaran Lingkungan Hidup dengan keputusan
Gubernur.
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang lingkup mekanisme penanganan pencemaran lingkungan
hidup meliputi:
a. penanganan
pencemaran lingkungan hidup dengan cara biasa;
b. penanganan
pencemaran lingkungan hidup secara dini (tindakan darurat);
c. pelaksana
utama/ujung tombak kegiatan ini berada pada tingkat Kotamadya/Kabupaten Adm.
Kepulauan Seribu.
Pasal 3
1. Penanganan
pencemaran lingkungan hidup dengan cara biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf a melalui koordinasi antara instansi yang bertanggung jawab di bidang
lingkungan hidup wilayah kotamadya/kabupaten administrasi Kepulauan Seribu.
2. Penanganan
pencemaran lingkungan hidup dengan cara dini (tindakan darurat) sebagaimana
dimaksud dengan Pasal 2 huruf b, melakukan tindakan langsung bila terjadinya
bahaya besar dan menelan korban jiwa.
LAPORAN
MASYARAKAT
Pasal 4
1. Laporan
masyarakat di bidang lingkungan hidup sebagaimana dimaksud Pasal 2 dapat
bersifat lokal dan lintas Kotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu;
2. Laporan
masyarakat di bidang lingkungan hidup dikategorikan bersifat lokal apabila
lokasi kegiatan dan/atau usaha serta dampak lingkungannya berada di dalam
wilayah suatu wilayah Kotamadya/ Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu;
3. Laporan
Masyarakat di bidang lingkungan hidup dikategorikan bersifat lintas
Kotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu apabila lokasi kegiatan
dan/atau usaha serta dampak lingkungannya meliputi dua atau Kotamadya/Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu;
4. Laporan
masyarakat di bidang lingkungan hidup dikategorikan bersifat lintas
Kotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu atau tingkat Provinsi apabila
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan yang telah terjadi telah mengakibatkan korban jiwa;
b.
Pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan dan dampaknya melintasi batas Provinsi;
c.
Pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan yang disebabkan oleh limbah bahan berbahaya dan beracun;
d.
Pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan di luar wilayah laut 4 s.d. 12 mil.
INSTANSI PENERIMA PENGADUAN
Pasal 5
1. Instansi
penerima pengaduan adalah:
a.
Instansi Pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di tingkat Pemerintah Provinsi;
b.
Instansi Pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di tingkat Pemerintah
Kotamadya/Kabupaten Administrasi kepulauan Seribu.
2. Pejabat
penerima laporan yang bersifat lokal pada instansi penerima pengaduan
sebagaimana dimaksud ayat (1) di tingkat wilayah adalah:
a.
Lurah, di kelurahan yang diduga terjadi
pencemaran lingkungan;
b.
Camat, di Kecamatan yang diduga terjadi
pencemaran lingkungan;
c.
Kasudin Perindag Wilayah;
d.
Kasudin Pariwisata Wilayah;
e.
Kasudin Kesehatan Wilayah;
f.
Kasudin Pengairan PU Wilayah;
g.
Kasudin Jalan PU Wilayah;
h.
Kasudin Peternakan, Perikanan dan
Kelautan Wilayah;
i.
Kasudin Pertambangan Wilayah;
j.
Kasudin Kebersihan Wilayah;
k.
Kasudin Perumahan Wilayah;
l.
Kasudin Tata Kota Wilayah;
m.
Kasudin P2B Wilayah;
n.
Kepala BPLHD Wilayah;
o.
Walikotamadya/Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu atau Kepala instansi pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang pengelolaan lingkungan hidup di daerah Kotamadya/Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu.
3. Pejabat
penerima laporan di tingkat Provinsi adalah:
a.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta;
b.
Kepala BPLHD Provinsi DKI Jakarta;
c.
Kepala Dinas Perindag Provinsi DKI
Jakarta;
d.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi DKI
Jakarta;
e.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI
Jakarta;
f.
Kepala Dinas Pengairan PU Provinsi DKI
Jakarta;
g.
Kepala Dinas
Jalan PU Provinsi DKI Jakarta;
h.
Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan
Kelautan Provinsi DKI Jakarta;
i.
Kepala Dinas Pertambangan Provinsi DKI
Jakarta;
j.
Kepala Dinas Kebersihan Provinsi DKI
Jakarta;
k.
Kepala Perumahan Provinsi DKI Jakarta;
l.
Kepala Dinas Tata Kota Provinsi DKI
Jakarta;
m.
Kepala Dinas P2B Provinsi DKI Jakarta;
n.
Kepala Biro ASP Provinsi DKI Jakarta.
4. Pejabat
penerima laporan yang bersifat lintas Kotamadya/Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu pada instansi penerima pengaduan sebagaimana dimaksud ayat (1)
adalah Gubernur atau Kepala instansi pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang pengelolaan lingkungan hidup di Daerah Provinsi untuk pengaduan
masyarakat di bidang lingkungan hidup.
TATA LAKSANA PENGAJUAN LAPORAN
Pasal 6
1. Apabila
masyarakat yang mengetahui atau menduga telah terjadinya suatu pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup dapat melaporkan kepada:
a.
Pejabat pemerintahan terdekat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 untuk laporan masyarakat di bidang
lingkungan hidup bersifat lokal;
b.
Pejabat pemerintah di tingkat provinsi
sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat 2 untuk laporan masyarakat yang bersifat
lintas wilayah;
c.
Pejabat pemerintah di tingkat provinsi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 3 untuk masyarakat yang bersifat lintas
wilayah.
2. Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara lisan atau
tertulis.
Pasal 7
1. Dalam laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) pelapor harus memberikan informasi
yang jelas tentang adanya pencemaran;
2. Apabila pelapor
memiliki data-data pendukung seperti photo, peta, hasil analisa laboratorium,
dan lain-lainnya dapat disertakan atau dilampirkan pada pengaduan.
TATA LAKSANA PENGELOLAAN LAPORAN
Pasal 8
1. Petugas
pengelola laporan pada instansi penerima laporan pencemaran lingkungan
selanjutnya mempelajari data-data pengaduan untuk menentukan klasifikasi
pengaduan.
2. Hasil
klasifikasi laporan pencemaran lingkungan hidup dan langkah penanganannya
dikategorikan menjadi:
a.
Bukan laporan pencemaran lingkungan
hidup.
b.
Setelah melalui verifikasi ternyata
laporan pencemaran lingkungan oleh masyarakat benar.
Pasal 9
Untuk menyelesaikan laporan masyarakat tentang pencemaran
lingkungan hidup dibentuk Tim Penanganan Pencemaran Lingkungan Hidup Tingkat
Kotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan Tim Penanganan Pencemaran
Lingkungan Hidup Tingkat Provinsi yang ditetapkan dengan keputusan Gubernur
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 10
Hasil temuan Tim Penanganan Pencemaran Lingkungan Hidup
dapat berupa:
a. Tidak merupakan
kasus lingkungan tetapi permasalahan sosial lainnya seperti sengketa tanah,
kecemburuan sosial dan sebagainya;
b. Tidak terjadi
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, tetapi telah terjadi
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau perizinan di bidang
lingkungan hidup;
c. Telah terjadi
pelanggaran yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang diselesaikan dengan perdata atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan;
d. Telah terjadi
pelanggaran yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
maka penyelesaiannya diserahkan kepada Polisi dan PPNS untuk dilakukan
penyidikan.
PERATURAN MENTERI
NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 14 TAHUN 2010
TENTANG
DOKUMEN LINGKUNGAN
HIDUP BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG TELAH MEMILIKI IZIN USAHA DAN/ATAU
KEGIATAN TETAPI BELUM MEMILIKI DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang
:
a. Bahwa sesuai dengan ketentuan
Pasal 121 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin
usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan
audit lingkungan hidup dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun;
b. Bahwa sesuai dengan ketentuan
Pasal 121 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin
usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen
pengelolaan lingkungan hidup dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha
Dan/Atau Kegiatan Yang Telah Memiliki Izin Usaha Dan/Atau Kegiatan Tetapi Belum
Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
2.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
3.
Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
4.
Peraturan
Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP BAGI
USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG TELAH MEMILIKI IZIN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN TETAPI
BELUM MEMILIKI DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.
Audit
Lingkungan Hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
2.
Dokumen
lingkungan hidup adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup yang terdiri atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup
(amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan
hidup (UKL-UPL), surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup (SPPL), dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
(DPPL), studi evaluasi mengenai dampak lingkungan hidup (SEMDAL), studi
evaluasi lingkungan hidup (SEL), penyajian informasi lingkungan (PIL),
penyajian evaluasi lingkungan (PEL), dokumen pengelolaan lingkungan hidup
(DPL), rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan
(RKL-RPL), dokumen evaluasi lingkungan hidup (DELH), dokumen pengelolaan
lingkungan hidup (DPLH), dan Audit Lingkungan.
3.
Dokumen
Evaluasi Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat DELH, adalah dokumen yang
memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari
proses audit lingkungan hidup yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang
sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen
amdal.
4.
Dokumen
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat DPLH, adalah dokumen
yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dikenakan bagi
usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi
belum memiliki UKL-UPL.
5.
Kepala
instansi lingkungan hidup kabupaten/kota adalah kepala instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup kabupaten/kota.
6.
Kepala
instansi lingkungan hidup provinsi adalah instansi yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup provinsi.
7.
Deputi
Menteri adalah Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup yang tugas dan
tanggungjawabnya di bidang amdal.
8.
Menteri
adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
BAB II
TATA LAKSANA
DOKUMEN EVALUASI
LINGKUNGAN HIDUP DAN DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Pertama
Kriteria
Pasal 2
1.
DELH
atau DPLH wajib disusun oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria:
a.
Telah
memiliki izin usaha dan/atau kegiatan sebelum diundangkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
b.
Telah
melakukan kegiatan tahap konstruksi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
c.
Lokasi
usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau
rencana tata ruang kawasan; dan
d.
Tidak
memiliki dokumen lingkungan hidup atau memiliki dokumen lingkungan hidup tetapi
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.
DELH
atau DPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun paling lama tanggal
3 Oktober 2011.
3.
Penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta
bantuan kepada konsultan dalam penyusunan DELH atau DPLH.
4.
Penyusunan
DELH atau DPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
tata laksana sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Kedua
Persyaratan
Penyusunan Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup
Pasal 3
(1) Penyusun DELH harus memenuhi
persyaratan:
a. Memiliki sertifikat pelatihan
penyusun dokumen amdal, sertifikat kompetensi penyusun dokumen amdal, dan/atau
sertifikat auditor lingkungan hidup bagi penyusunan DELH yang dilakukan sejak
Peraturan Menteri ini ditetapkan sampai dengan tanggal 3 Oktober 2010; atau
b. Memiliki sertifikat kompetensi
auditor lingkungan hidup yang teregistrasi bagi penyusunan DELH yang dilakukan
antara tanggal 4 Oktober 2010 sampai 3 Oktober 2011.
(2)
Penyusunan DELH menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Ketiga
Mekanisme Penetapan
Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup
Pasal 4
Penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
mengajukan permohonan penyusunan DELH kepada:
a. kepala
instansi lingkungan hidup kabupaten/kota;
b. kepala
instansi lingkungan hidup provinsi; atau
c. Menteri
melalui Deputi Menteri
sesuai
dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur
mengenai tata kerja komisi penilai amdal.
Pasal 5
(1) Kepala instansi lingkungan
hidup kabupaten/kota melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a dan menyampaikan usulan penyusunan DELH yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada kepala instansi lingkungan
hidup provinsi dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
diterimanya permohonan.
(2)
Kepala instansi lingkungan hidup provinsi melakukan verifikasi usulan
penyusunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan usulan penetapan
DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud.
Aturan Hukum tentang AMDAL
Kebijakan pengelolaan lingkungan pada suatu usaha atau
kegiatan baik oleh perseorangan maupun badan hukum diatur dalam suatu
peraturan. Kebijakan AMDAL telah dilakukan penerapan kebijakan pengelolaan
lingkungan dengan menerbitkan aturan hukum berupa Undang-Undang (UU), peraturan
pemerintah, dan peraturan menteri. Beberapa aturan hukum mengenai lingkungan
hidup maupun AMDAL adalah sebagai berikut.
BAB III
PENILAIAN AMDAL DAN
PEMERIKSAAN UKL-UPL
Bagian Kesatu
Kerangka Acuan
Pasal 20
1. Kerangka
Acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a disusun oleh
Pemrakarsa sebelum penyusunan Amdal dan RKL-RPL.
2. Kerangka
Acuan yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada:
a. Menteri
melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal Pusat, untuk Kerangka Acuan yang
dinilai oleh Komisi Penilai Amdal Pusat;
b. gubernur
melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal provinsi, untuk Kerangka Acuan yang
dinilai oleh Komisi Penilai Amdal provinsi; atau
c. bupati/walikota
melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal kabupaten/kota, untuk Kerangka Acuan
yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal kabupaten/kota.
3. Berdasarkan
pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretariat Komisi Penilai Amdal
memberikan pernyataan tertulis mengenai kelengkapan administrasi Kerangka
Acuan.
Pasal 21
1. Kerangka
Acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 yang telah dinyatakan lengkap secara
administrasi, dinilai oleh Komisi Penilai Amdal.
2. Untuk
melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Penilai Amdal
menugaskan tim teknis untuk menilai Kerangka Acuan.
3. Tim
teknis dalam melakukan penilaian, melibatkan Pemrakarsa untuk menyepakati
Kerangka Acuan.
4. Tim
teknis menyampaikan hasil penilaian Kerangka Acuan kepada Komisi Penilai Amdal.
5. Dalam
hal hasil penilaian tim teknis menunjukkan bahwa Kerangka Acuan perlu
diperbaiki, tim teknis menyampaikan dokumen tersebut kepada Komisi Penilai
Amdal untuk dikembalikan kepada Pemrakarsa.
Pasal 22
1. Pemrakarsa
menyampaikan kembali perbaikan Kerangka Acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (5) kepada Komisi Penilai Amdal.
2. Kerangka
Acuan yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh tim
teknis.
3. Tim
teknis menyampaikan hasil penilaian akhir Kerangka Acuan kepada Komisi Penilai
Amdal.
Pasal 23
Jangka
waktu penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan/atau Pasal 22 dilakukan
paling lama 30 (tigapuluh) hari kerja terhitung sejak Kerangka Acuan diterima
dan dinyatakan lengkap secara administrasi.
Pasal 24
Dalam
hal hasil penilaian tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4)
atau Pasal 22 ayat (3) menyatakan Kerangka Acuan dapat disepakati, Komisi
Penilai Amdal menerbitkan persetujuan Kerangka Acuan.
Pasal 25
1. Kerangka
Acuan tidak berlaku apabila:
a. perbaikan
Kerangka Acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) tidak disampaikan
kembali oleh Pemrakarsa paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak
dikembalikannya Kerangka Acuan kepada Pemrakarsa oleh Komisi Penilai Amdal;
atau
b. Pemrakarsa
tidak menyusun Amdal dan RKL-RPL dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung
sejak diterbitkannya persetujuan Kerangka Acuan.
2. Dalam
hal Kerangka Acuan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemrakarsa
wajib mengajukan kembali Kerangka Acuan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20.
Pasal 26
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penilaian Kerangka Acuan diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Amdal dan RKL-RPL
Pasal 27
Pemrakarsa
menyusun Amdal dan RKL-RPL berdasarkan:
a. Kerangka
Acuan yang telah diterbitkan persetujuannya; atau
b. konsep
Kerangka Acuan, dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
telah terlampaui dan Komisi Penilai Amdal belum menerbitkan persetujuan
Kerangka Acuan.
Pasal 28
1. Amdal
dan RKL-RPL yang telah disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diajukan
kepada:
a. Menteri
melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal Pusat, untuk Kerangka Acuan yang
dinilai oleh Komisi Penilai Amdal Pusat;
b. gubernur
melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal provinsi, untuk Kerangka Acuan yang
dinilai oleh Komisi Penilai Amdal provinsi; atau
c. bupati/walikota
melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal kabupaten/kota, untuk Kerangka Acuan
yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal kabupaten/kota.
2. Berdasarkan
pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekretariat Komisi Penilai Amdal
memberikan pernyataan tertulis mengenai kelengkapan administrasi dokumen Amdal
dan RKL-RPL.
3. Komisi
Penilai Amdal melakukan penilaian Amdal dan RKL-RPL sesuai dengan
kewenangannya.
4. Komisi
Penilai Amdal menugaskan tim teknis untuk menilai dokumen Amdal dan RKL-RPL
yang telah dinyatakan lengkap secara administrasi oleh sekretariat Komisi
Penilai Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
5. Tim
teknis menyampaikan hasil penilaian atas dokumen Amdal dan RKL-RPL kepada
Komisi Penilai Amdal.
Pasal 29
1. Komisi
Penilai Amdal, berdasarkan hasil penilaian Amdal dan RKL-RPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5), menyelenggarakan rapat Komisi Penilai Amdal.
2. Komisi
Penilai Amdal menyampaikan rekomendasi hasil penilaian Amdal dan RKL-RPL kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
3. Rekomendasi
hasil penilaian Amdal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berupa:
a. rekomendasi
kelayakan lingkungan; atau
b. rekomendasi
ketidaklayakan lingkungan.
4. rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan pertimbangan paling sedikit
meliputi:
a. prakiraan
secara cermat mengenai besaran dan sifat penting dampak dari aspek biogeofisik
kimia, sosial, ekonomi, budaya, tata ruang, dan kesehatan masyarakat pada tahap
prakonstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi Usaha dan/atau Kegiatan;
b. hasil
evaluasi secara holistik terhadap seluruh Dampak Penting hipotetik sebagai
sebuah kesatuan yang saling terkait dan saling memengaruhi, sehingga diketahui
perimbangan Dampak Penting yang bersifat positif dengan yang bersifat negatif;
dan
c. kemampuan
Pemrakarsa dan/atau pihak terkait yang bertanggung jawab dalam menanggulangi
Dampak Penting yang bersifat negatif yang akan ditimbulkan dari Usaha dan/atau
Kegiatan yang direncanakan, dengan pendekatan teknologi, sosial, dan
kelembagaan.
5. Dalam
hal rapat Komisi Penilai Amdal menyatakan bahwa dokumen Amdal dan RKL-RPL perlu
diperbaiki, Komisi Penilai Amdal mengembalikan dokumen Amdal dan RKL-RPL kepada
Pemrakarsa untuk diperbaiki.
Pasal 30
1. Pemrakarsa
menyampaikan kembali perbaikan dokumen Amdal dan RKL-RPL sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1).
2. Berdasarkan
dokumen Amdal dan RKL-RPL yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Komisi Penilai Amdal melakukan penilaian akhir terhadap dokumen Amdal dan
RKL-RPL.
3. Komisi
Penilai Amdal menyampaikan hasil penilaian akhir berupa rekomendasi hasil
penilaian akhir kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya.
Pasal 31
Jangka
waktu penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan/atau Pasal
30 dilakukan paling lama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja, terhitung sejak
dokumen Amdal dan RKL-RPL dinyatakan lengkap.
Pasal 32
1. Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota berdasarkan rekomendasi penilaian atau penilaian
akhir dari Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 atau Pasal
30, menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup.
2. Jangka
waktu penetapan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja terhitung sejak diterimanya rekomendasi hasil penilaian atau penilaian
akhir dari Komisi Penilai Amdal.
Pasal 33
1. Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. dasar
pertimbangan dikeluarkannya penetapan;
b. pernyataan
kelayakan lingkungan;
c. persyaratan
dan kewajiban Pemrakarsa sesuai dengan RKL-RPL; dan
d. kewajiban
yang harus dilakukan oleh pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (4) huruf c.
2. Dalam
hal Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib memiliki izin
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Keputusan Kelayakan Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan jumlah dan jenis
izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 34
Keputusan
ketidaklayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
paling sedikit memuat:
a. dasar
pertimbangan dikeluarkannya penetapan; dan
b. pernyataan
ketidaklayakan lingkungan.
Pasal 35
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penilaian Amdal dan RKL-RPL diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
UKL-UPL
Pasal 36
1. Formulir
UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang telah diisi oleh
Pemrakarsa disampaikan kepada:
a. Menteri,
untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang berlokasi:
1) di
lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi;
2) di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang dalam sengketa dengan
negara lain;
3) di
wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke
arah laut lepas; dan/atau
4) di
lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara lain.
b. gubernur,
untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang berlokasi:
1) di
lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;
2) di
lintas kabupaten/kota; dan/atau
3) di
wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
c. bupati/walikota,
untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang berlokasi pada 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota dan di wilayah laut paling jauh 1/3 (satu pertiga) dari wilayah
laut kewenangan provinsi.
2. Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi
formulir UKLUPL.
3. Apabila
hasil pemeriksaan kelengkapan administrasi formulir UKL-UPL dinyatakan tidak
lengkap, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota mengembalikan UKLUPL kepada
Pemrakarsa untuk dilengkapi.
4. Apabila
hasil pemeriksaan kelengkapan administrasi formulir UKL-UPL dinyatakan lengkap,
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan pemeriksaan UKL-UPL.
5. Pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari sejak formulir UKL-UPL dinyatakan lengkap secara administrasi.
Pasal 37
1. Berdasarkan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4), Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota menerbitkan Rekomendasi UKL-UPL.
2. Rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. persetujuan;
atau
b. penolakan.
Pasal 38
1. Rekomendasi
berupa persetujuan UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf
a, paling sedikit memuat:
a. dasar
pertimbangan dikeluarkannya persetujuan UKLUPL;
b. pernyataan
persetujuan UKL-UPL; dan
c. persyaratan
dan kewajiban Pemrakarsa sesuai dengan yang tercantum dalam UKL-UPL.
2. Dalam
hal Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib memiliki izin
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 39
Rekomendasi
berupa penolakan UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b,
paling sedikit memuat:
a.
dasar pertimbangan dikeluarkannya
penolakan UKL-UPL; dan
b.
pernyataan penolakan UKL-UPL.
Pasal 40
Pemeriksaan
UKL-UPL dan penerbitan Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
dan Pasal 37 dapat dilakukan oleh:
a. pejabat
yang ditunjuk oleh Menteri;
b. kepala
instansi lingkungan hidup provinsi; atau
c. kepala
instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
Pasal 41
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemeriksaan UKL-UPL dan penerbitan Rekomendasi UKL-UPL
diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
PERMOHONAN DAN
PENERBITAN IZIN LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Permohonan Izin
Lingkungan
Pasal 42
1. Permohonan
Izin Lingkungan diajukan secara tertulis oleh penanggungjawab Usaha dan/atau
Kegiatan selaku Pemrakarsa kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
2. Permohonan
Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan
pengajuan penilaian Amdal dan RKL-RPL atau pemeriksaan UKLUPL.
Pasal 43
Permohonan
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), harus dilengkapi
dengan:
a. dokumen
Amdal atau formulir UKL-UPL;
b. dokumen
pendirian Usaha dan/atau Kegiatan; dan
c. profil
Usaha dan/atau Kegiatan.
Pasal 44
Setelah
menerima permohonan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43,
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mengumumkan permohonan Izin
Lingkungan.
Pasal 45
1. Pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
Amdal dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
2. Pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui multimedia dan papan
pengumuman di lokasi Usaha dan/atau Kegiatan paling lama 5 (lima) hari kerja
terhitung sejak dokumen Amdal dan RKL-RPL yang diajukan dinyatakan lengkap
secara administrasi.
3. Masyarakat
dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak diumumkan.
4. Saran,
pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan
melalui wakil masyarakat yang terkena dampak dan/atau organisasi masyarakat
yang menjadi anggota Komisi Penilai Amdal.
Pasal 46
1. Pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
UKL-UPL dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
2. Pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui multimedia dan papan
pengumuman di lokasi Usaha dan/atau Kegiatan paling lama 2 (dua) hari kerja
terhitung sejak formulir UKL-UPL yang diajukan dinyatakan lengkap secara
administrasi.
3. Masyarakat
dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak
diumumkan.
4. Saran,
pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan
kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Bagian Kedua
Penerbitan Izin
Lingkungan
Pasal 47
1. Izin
Lingkungan diterbitkan oleh:
a. Menteri,
untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang
diterbitkan oleh Menteri;
b. gubernur,
untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang
diterbitkan oleh gubernur; dan
c. bupati/walikota,
untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang
diterbitkan oleh bupati/walikota.
2. Izin
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota:
a. setelah
dilakukannya pengumuman permohonan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44; dan
b. dilakukan
bersamaan dengan diterbitkannya Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau
Rekomendasi UKL-UPL.
Pasal 48
1. Izin
Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) paling sedikit memuat:
a. persyaratan
dan kewajiban yang dimuat dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau
Rekomendasi UKL-UPL;
b. persyaratan
dan kewajiban yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota; dan
c. berakhirnya Izin Lingkungan.
2. Dalam
hal Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib memiliki izin
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Izin Lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan.
3. Izin
Lingkungan berakhir bersamaan dengan berakhirnya izin Usaha dan/atau Kegiatan.
Pasal 49
1. Izin
Lingkungan yang telah diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
wajib diumumkan melalui media massa dan/atau multimedia.
2. Pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu 5 (lima) hari
kerja sejak diterbitkan.
Pasal 50
1. Penanggung
jawab Usaha dan/atau Kegiatan wajib mengajukan permohonan perubahan Izin
Lingkungan, apabila Usaha dan/atau Kegiatan yang telah memperoleh Izin
Lingkungan direncanakan untuk dilakukan perubahan.
2. Perubahan
Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perubahan
kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan;
b. perubahan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;
c. perubahan
yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup yang memenuhi kriteria:
1) perubahan
dalam penggunaan alat-alat produksi yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup;
2) penambahan
kapasitas produksi;
3) perubahan
spesifikasi teknik yang memengaruhi lingkungan;
4) perubahan
sarana Usaha dan/atau Kegiatan;
5) perluasan
lahan dan bangunan Usaha dan/atau Kegiatan;
6) perubahan waktu atau durasi operasi Usaha
dan/atau Kegiatan;
7) Usaha
dan/atau Kegiatan di dalam kawasan yang belum tercakup di dalam Izin
Lingkungan;
8) terjadinya
perubahan kebijakan pemerintah yang ditujukan dalam rangka peningkatan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan/atau
9) terjadi
perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar akibat peristiwa alam atau
karena akibat lain, sebelum dan pada waktu Usaha dan/atau Kegiatan yang
bersangkutan dilaksanakan;
d. terdapat
perubahan dampak dan/atau risiko terhadap lingkungan hidup berdasarkan hasil
kajian analisis risiko lingkungan hidup dan/atau audit lingkungan hidup yang
diwajibkan; dan/atau
e. tidak
dilaksanakannya rencana Usaha dan/atau Kegiatan dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sejak diterbitkannya Izin Lingkungan.
3. Sebelum
mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c, huruf d, dan huruf e, penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan
wajib mengajukan permohonan perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau
Rekomendasi UKL-UPL.
4. Penerbitan
perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dilakukan melalui:
a. penyusunan
dan penilaian dokumen Amdal baru; atau
b. penyampaian
dan penilaian terhadap adendum Amdal dan RKL-RPL.
5. Penerbitan
perubahan Rekomendasi UKL-UPL dilakukan melalui penyusunan dan pemeriksaan
UKL-UPL baru.
6. Penerbitan
perubahan Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan
dalam hal perubahan Usaha dan/atau Kegiatan tidak termasuk dalam kriteria wajib
Amdal.
7. Penerbitan
perubahan Izin Lingkungan dilakukan bersamaan dengan penerbitan perubahan
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL.
8. Ketentuan
lebih lanjut mengenai kriteria perubahan Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan tata cara perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan
Hidup, perubahan Rekomendasi UKL-UPL, dan penerbitan perubahan Izin Lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 51
1. Dalam
hal terjadi perubahan kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya menerbitkan perubahan Izin Lingkungan.
2. Dalam
hal terjadi perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b, penanggung jawab Usaha dan/atau
Kegiatan menyampaikan laporan perubahan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota.
3. Berdasarkan
laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya menerbitkan perubahan Izin Lingkungan.
Pasal 52
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Kewajiban Pemegang Izin
Lingkungan
Pasal 53
1. Pemegang
Izin Lingkungan berkewajiban:
a. menaati
persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Izin Lingkungan dan izin perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. membuat
dan menyampaikan laporan pelaksanaan terhadap persyaratan dan kewajiban dalam
Izin Lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota; dan
c. menyediakan
dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2. Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan secara berkala setiap 6
(enam) bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar