Minggu, 25 September 2011

Pemenggalan Kepala Tokoh Wayang

Purwakarta, Jawa Barat. Para ulama Islam dari Forum Ulama Indonesia melakukan demonstrasi di luar kantor administrasi lokal pada hari Jumat lalu, menuntut agar patung Bima yang merupakan figur pewayangan Jawa, dicopot.
Dalam sebuah percakapan, KH Abdullah Joban, ketua forum cabang Purwakarta, mendesak pihak administrasi untuk menghancurkan patung itu, dengan mengklaim bahwa “patung itu bertentangan dengan identitas islamik kota itu.”
Patung raksasa Bima itu berdiri di Jalan Baru di Nagri Kaler yang merupakan sub distrik Purwakarta. Dalam pernyataan resminya kepada pihak administrasi, Forum Ulama mengklaim bahwa patung Bima itu memberikan dampak negatif terhadap publik karena itu adalah sebuah imej dari figur yang hanya eksis dalam “keyakinan tahayul” masyarakat.
“Ini adalah sebuah cara untuk menghilangkan patung itu dari keyakinan tahayul. Dari sudut pandang ekonomi, patung ini hanya buang-buang uang dan dari sudut pandang hukum, patung ini menyebabkan ketidaknyamanan bagi masyarakat umum,” kata Abdullah. Ia kemudian menambahkan bahwa patung itu harus diganti dengan sebuah figur Islamik. Kepala distrik Purwakarta, Dedi Mulyadi tampaknya masih memiliki 2 lagi patung yang merupakan patung bernuansa pewayangan Jawa, yang didirikan di daerah itu.
Demonstrasi ini tiba kurang dari 2 bulan setelah pihak administrasi Bekasi di Jawa Barat mencopot patung setinggi 17 meter “Tiga Mojang” (“Tiga Gadis”), yang membutuhkan waktu setahun untuk membangunnya dengan sekurangnya dikerjakan oleh 50 orang pekerja, dengan pengeluaran sekitar 2,4 milyar rupiah ($268,800).
Setelah mendapatkan tentangan dari kelompok-kelompok garis keras, termasuk para pemrotes yang menyemprotkan cat dan menutup patung itu dengan kain putih, walikota Bekasi, Mochtar Muhammad, memerintahkan pihak pengembang dari komplek itu, dimana patung itu berdiri, agar mencopot patung itu. Pada pertengahan Mei, lebih dari 1000 massa organisasi-organisasi garis keras Islam melakukan unjuk rasa di luar kantor administrasi Bekasi untuk memprotes patung itu.
Pemimpin Front Pembela Islam Bekasi (FPI), Murhali Barda, mengatakan bahwa patung Tiga Mojang, meskipun sudah mendapatkan ijin pendiriannya, dianggap sebagai patung yang tidak islamik.
“Ketiga wanita itu mengenakan pakaian yang ketat”, kata Murhali. “Dan di atas semuanya, Islam melarang patung dan lukisan yang coba untuk mengkopi mahluk hidup yang nyata.
Disainer Tiga Mojang, Nyoman Nuarta mengatakan bahwa patung yang ia buat biasanya menggambarkan mahluk hidup karena biasanya orang Indonesia tidak tertarik dengan seni abstrak. Ia juga mengatakan bahwa orang-orang Indonesia cenderung melupakan akar budaya mereka dan selalu siap untuk mengadopsi segala sesuatu dari luar, apakah baik atau buruk. “Kita mengambil budaya Amerika atau Arab seolah-olah kita sendiri tidak merasa bangga dengan budaya kita sendiri,” katanya.
Menanggapi artikel diatas , saya sangat tidak setuju dengan hal yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab seperti yang dijelaskan diatas. Saya sebagai orang Jawa asli sangat kecewa, karena wayang merupakan budaya Jawa dan merupakan budaya Indonesia yang harus dilestarikan, bukan malah dihancurkan atau dirusak. Kita sebagai orang jawa menganggap tokoh-tokoh wayang sebagai cerminan sifat manusia, tidak lebih dari itu. Jadi orang-orang yang mencela bahkan mau merusak budaya Jawa dalam hal ini Pewayangan, saya sebagai orang Jawa menentang keras perbuatan diatas.

Fenomena Lebaran

FENOMENA LEBARAN
Lebaran telah usai, mereka yang mudik ke kampung halaman kini telah kembali lagi ke perantauan, ke kota-kota sumber pencahariannya. Kota-kota kembali ramai, padat dan sumpek, sementara kampung-kampung kembali lengang, dan sepi. Apa yang bisa diungkap dari fenomena Lebaran?
Lebaran tetaplah momen yang menggembirakan dan membahagiakan, biar pun macet saat mudik ataupun arus balik, bahkan biar pun nyawa dipertaruhkan di jalanan tetap saja momen lebaran tetap menjadi prioritas. Kabarnya tahun ini ada ratusan orang yang meninggal akaibat kecelakaan di jalan dan kebanyakan adalah pengendara sepeda motor. Selain jumlahnya yang memang sangat banyak, risiko di jalanan bagi pengendara motor memang lebih besar dibandingkan mobil. Kelelahan mengakibatkan hilangnya konsentrasi yang dibutukan dalam perjalanan jauh.
Lebaran dari tahun ke tahun, entah sampai kapan, akan selalu terisi dengan mudik-balik orang-orang. Jumlahnya dipastikan akan terus meningkat. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang menjadi favorit orang-orang untuk mencari penghidupan akan terus didatangi kaum urban dari kampung-kampung, sepanjang tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk memeratakan pembangunan di seluruh daerah di penjuru negeri ini. Otonomi daerah mestinya tidak dijadikan sebagai alasan pemerintah pusat mengabaikan perannya di daerah-daerah, karena ternyata tidak semua daerah memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik.
Faktor ekonomi menjadi inti dari terus meningkatnya jumlah pemudik lebaran dari tahun ke tahun, di mana jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat ketika lakembali lagi ke kota. Tidak heran, ada pameo menyebutkan ‘mudik bawa barang, balik bawa orang’. Maksudnya, kaum urban dari kota-kota sentra ekonomi mudik membawa apa yang sudah dihasilkannya; entah itu berupa kendaraan (mobil, motor), entah itu berupa uang, entah itu berupa jajanan atau oleh-oleh makanan yang dibeli di kota, yang katanya di kampung tidak ada, lalu dibawa mudik. Sadar tidak sadar, apa yang dibawa secara sosiologis mencerminkan yang Karl Marx sebut dengan perjuangan kelas sosial dengan pergi ke kota, lalu pulang kampung menyandang status sosial lebih baik, yakni menjadi orang sukses di kota. Tentu saja ukuran ‘sukses’ adalah adanya perbedaan ketika masih di kampung dengan setelah di kota.
Saat kembali ke kota, sebagian besar mereka membawa saudara, kerabat atau teman-temannya. Tidak heran, dibanding jumlah pemudik, jumlah yang balik lagi ke kota bisa dua kali lipat. Kesuksesan sebagai orang yang hidup di kota yang terlihat dengan barang-barang yang mereka bawa telah banyak menarik minat orang-orang kampung lainnya untuk ikut mengalami kesuksesan semacam itu. Hasrat untuk menjadi orang urban semakin besar ketika kampung halaman sudah tidak lagi memberi kesejahteraan.
Fenomena mudik dan balik setiap Lebaran yang begitu dahsyat dipastikan hanya dikenal atau terjadi di Indonesia. Fenomena ini menjadi cermin sosial paling benderang yang mendeskripsikan bagaimana kondisi masyarakat negeri ini. Ketimpangan ekonomi antara kota dan desa, ketidakmerataan pembangunan di daerah-daerah, otonomisasi daerah yang belum sepenuhnya berhasil, serta ketidakpedulian atau ketidakmampuan pemerintah, terutama pemerintah pusat dalam mengantisipasi dan menangani ledakan sosial kaum urban sebagai efek domino dari ketimpangan dan ketidakmerataan itu, menjadi salah satu faktor utama terciptanya fenomena mudik dan balik.
Pemerintah mestinya bisa membaca fenomena ini secara cermat. Ada kesalahan elementer yang harusnya disadari pemerintah dengan cepat. Kebijakan pembangunan belum berefek besar bagi masyarakat di daerah. Kota-kota masih terus menjadi magnet, karena terus dipercantik, diperindah, bahkan sampai dipersempit. Ambil contoh Jakarta yang merupakan pusat ekonomi (bisnis) dan pemerintahan. Lahan semakin menyempit, ditumbuhi hutan-hutan beton dan baja. Jakarta terus diperkuat magnet dan daya tariknya sebagai sentra ekonomi. Daerah-daerah di luar Jakarta, apalagi di luar Jawa, dibiarkan mengurusi dirinya sendiri dengan kondisi keuangan yang megap-megap atau dikatakan minim. Untuk menggaji pegawai saja kekurangan, bagaimana mungkin membangun daerahnya, hingga ke pelosok? Di sinilah peran pemerintah pusat. Pemerintah harus segera memeratakan pembangunan di daerah, dan menarik masyarakat untuk ikut berperan di dalamnya untuk bersama-sama membangun daerah, agar masyarakat bisa mencari penghidupan secara memadai, di daerahnya sendiri.