Rabu, 22 Januari 2014

“Berikut ini adalah wawancara antara penjual gorengan

Adi             : Permisi bang , maaf mengganggu ,boleh minta waktunya sebentar ?
Penjual        : Iya boleh mas , Ada yang bisa saya bantu ?
Adi              : Begini bang kami mendapat tugas untuk mewawancarai pedagang sebagai narasumber . Apa abang bersedia untuk di wawancarai ?
Penjual        : Silahkan saja mas, tapi saya sambil goreng ya .
Adi             : Nama abang boleh disebutkan???
Penjual        : Kardi mas.
Adi              : Saya Adi bang dari Universitas Gunadarma. Kapan abang memulai usaha menjual gorengan?
Penjual        : Tahun 2009 mas
Adi              : Pada saat awal abang berjualan , Abang keliling atau langsung menetap disini???
 Penjual       : Pertama saya  langsung menetap disini.
Adi             : Kenapa abang memilih berjualan gorengan , apa alasannya ?
Penjual        : Alasannya menjual gorengan  karena memang kemampuan
                          yang dimiliki hanya sebatas itu .
Adi             : Berapa modal awal yang abang keluarkan untuk berjualan ?
Penjual        : Waktu itu modalnya hanya Rp.1.500.000,
?
Penjual        : Dari jam 09.00-20.00.
Adi             : dari pertama dagang abang sudah pakai gerobak atau dipikul baru
                         menggunakan gerobak ?
Adi             : Berapa penghasilan rata-rata abang setiap harinya ?
Penjual        : Penghasilan sehari Rp.300.000 dengan keuntungan bersih
                         Rp.100.000.
Adi             : Apabila adonan tidak habis terjual ,maka dibuang atau bagaimana ?
Penjual        : Saya bagikan ke tetangga saya atau ke temen saya kalau masih bisa dimakan.
                    
Adi             : Nah untuk minyak goreng ,dalam penggunaannya abang pakai
                         berapa kali ?
Penjual        : Saya pakai selama 3kali , setelah itu saya ganti dengan yang baru.
Adi             : Usaha abang ini ,abang jalankan sendiri atau sudah ada cabang sejak 2009 ?
Penjual        : Tidak mas,saya jalankan sendiri .
Adi             : Oh gitu yya bang ,saya kira sudah cukup banyak mengetahui
                        tentang usaha gorengan ini ,kami mengucapkan terima kasih atas
                        waktu yang abang luangkan ,semoga usaha yang abng jalankan bisa
                        maju .
Penjual        : Amiin ,sama sama mas .

Selasa, 22 Oktober 2013

Peluang Singkong



Setiap tahun kebutuhan pangan manusia semakin meningkat dikarenakan jumlah penduduk yang selalu bertambah banyak setiap tahun. Pemerintah Indonesia sekarang mulai memperlakukan konversi dari beras ke makanan lain seperti jagung, ubi-ubian, bahkan singkong. Singkong dari dulu dibutuhkan oleh manusia selain dikonsumsi seperti biasa seperti digoreng, direbus, atau dibakar, juga bisa diolah menjadi jajanan seperti getuk, tape, atau bubur cenel. Singkong sekarang juga dapat dibuat olahan lain seperti, tepung tapioka, tepung mokaf, campuran indomie, saos, pemanis buatan bahkan yang terbaru adalah membuat bionergi berupa etanol dari bahan dasar singkong. Ini merupakan alasan kenapa singkong bisa lebih dikembangkan lagi bahkan dapat dijadikan sumber penghasilan, dan tidak menutup kemungkinan singkong bisa menjadi sumber bisnis yang menjanjikan. Namun kenyataannya pada tahun 2012 kemaren Pemerintah Indonesia masih impor berbagai macam komuditas termasuk singkong, yaitu sebanyak 32 milyar. Nah mungkin ini adalah peluang bisnis dimana kebutuhan di dalam negeri masih sangat besar dan belum terpenuhi.(http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1936649/kadin-kok-masih-imporsingkong#.USwkGzdCKhm)
Semua ini dikarenakan kurangnya ilmu pengetahuan dan teknologi oleh para petani singkong. Rata-rata petani singkong di Indonesia menghasilkan 10-20 ton per ha. Padahal hakekatnya menanam singkong bisa mencapai 30-100 ton per ha jika ditanam dengan teknologi baru dan ilmu tanam yang modern. Oleh karena itu kami mencoba mengembangkan teknologi tanam singkong dan pengolahan turunannya, supaya hasil panen per ha bisa meningkat, dan nantinya petani bisa mencontoh sehingga kesejahteraan petani meningkat dan kebutuhan singkong dalam negeri terpenuhi.

Selasa, 02 Juli 2013

amdal 2


BAB II
LANDASAN TEORI


2.1       PENGERTIAN LINGKUNGAN
          Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Jika kalian berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa teman-teman sekolah, bapak ibu guru serta karyawan, dan semua orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di kebun sekolah serta hewan-hewan yang ada di sekitarnya.
Adapun lingkungan abiotik berupa udara, meja kursi, papan tulis, gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada di sekitar. Seringkali lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut juga sebagai lingkungan sosial.
2.2       LINGKUNGANHIDUP
Secara khusus, kita sering menggunakan istilah lingkungan hidup untuk menyebutkan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup segenap makhluk hidup di bumi. Adapun berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Unsur-unsur lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1.         Unsur Hayati (Biotik)
Unsur hayati (biotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang terdiri dari makhluk hidup, seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan jasad renik. Jika kalian berada di kebun sekolah, maka lingkungan hayatinya didominasi oleh tumbuhan. Tetapi jika berada di dalam kelas, maka lingkungan hayati yang dominan adalah teman-teman atau sesama manusia.

2.         Unsur Sosial Budaya
Unsur sosial budaya, yaitu lingkungan sosial dan budaya yang dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk sosial. Kehidupan masyarakat dapat mencapai keteraturan berkat adanya sistem nilai dan norma yang diakui dan ditaati oleh segenap anggota masyarakat.
3.         Unsur Fisik (Abiotik)
Unsur fisik (abiotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang terdiri dari benda-benda tidak hidup, seperti tanah, air, udara, iklim, dan lain-lain. Keberadaan lingkungan fisik sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup segenap kehidupan di bumi. Bayangkan, apa yang terjadi jika air tak ada lagi di muka bumi atau udara yang dipenuhi asap? Tentu saja kehidupan di muka bumi tidak akan berlangsung secara wajar. Akan terjadi bencana kekeringan, banyak hewan dan tumbuhan mati, perubahan musim yang tidak teratur, munculnya berbagai penyakit, dan lain-lain.
2.3       UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak. Upaya pemerintah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa harus menimbulkan kerusakan lingkungan ditindaklanjuti dengan menyusun program pembangunan berkelanjutan yang sering disebut sebagai pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan adalah usaha meningkatkan kualitas manusia secara bertahap dengan memerhatikan faktor lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan dikenal dengan nama Pembangunan Berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan kesepakatan hasil KTT Bumi di Rio de Jeniro tahun 1992. Di dalamnya terkandung 2 gagasan penting, yaitu:
·      Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok manusia untuk menopang hidup.
·      Gagasan keterbatasan, yaitu keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan baik masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Adapun ciri-ciri Pembangunan Berwawasan Lingkungan adalah sebagai berikut:
a. Menjamin pemerataan dan keadilan.
b. Menghargai keanekaragaman hayati.
     c. Menggunakan pendekatan integratif.
     d. Menggunakan pandangan jangka panjang.
            Pada masa reformasi sekarang ini, pembangunan nasional dilaksanakan tidak lagi berdasarkan GBHN dan Propenas, tetapi berdasarkan UU No. 25 Tahun 2000, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mempunyai tujuan di antaranya:
a.       Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
b.      Mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
c.       Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.

1.         Upaya yang Dilakukan Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya memiliki tanggung jawab besar dalam upaya memikirkan dan mewujudkan terbentuknya pelestarian lingkungan hidup. Hal-hal yang dilakukan pemerintah antara lain:
a.       Mengeluarkan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang Tata Guna Tanah.
b.      Menerbitkan UU No. 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
c.       Memberlakukan Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1986, tentang AMDAL (Analisa Mengenai   Dampak Lingkungan).
d.      Pada tahun 1991, pemerintah membentuk Badan Pengendalian Lingkungan, dengan tujuan pokoknya:
1)      Menanggulangi kasus pencemaran.
2)      Mengawasi bahan berbahaya dan beracun (B3).
3)      Melakukan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
2.4              Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup adalah semua benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya. Beberapa definisi lingkungan hidup antara lain (Siahaan, Nommy H.T, 2004):
1.      Prof. Dr. St. Munadjat Danusaputro, SH mengartikan lingkungan hidup sebagai semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidu lainnya.
2.      Menurut pengertian juridis, seperti diberikan oleh Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982 (UUPLH 1982), lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya dan keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.
3.      Emil Salim mengartikan lingkungan hidup ialah segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia.
4.      Otto Soemarwot mengartikan lingkungan hidup adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia.


2.5       Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan, penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
1.      Pandangan Immanen dan Transenden
Didalam ekologi, manusia dipandang sama dengan makhluk hidup yang lain. Manusia tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi yang dipentingkan adalah keserasian hubungan antara manusia dan alam. Pandangan yang demikian dinamakan pandangan immanen. Namun, saat ini manusia dipandang berada di luar alam. Pandangan yang demikian disebut pandangan yang transsenden.
2.      Pengelolaan Lingkungan Tugas Manusia
Hakikat pengelolaan lingkungan hidup bukan hanya mengatur lingkungannya, tetapi didalamnya termasuk mengatur dan mengendalikan berbagai kegiatan manusia agar berlangsung dan berdampak dalam batas kemampuan dan keterbatasan lingkungan untuk mendukungnya. Manusia perlu secara rutin mengelola lingkungan hidup agar dapat memanfaatkannya secara optimal
3.      Pembangunan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan lingkungan perlu dilakukan sejah dini agar pembangunan yang makin pesat pelaksanaannya dapat memanfaatkan lingkungan hidup melalui penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan. Pembangunan tidak saja mendatangkan manfaat, tetapi juga menimbulkan resiko terjadinya kerusakan lingkungan. Pembangunan pada hakikatnya bertujuan untuk menimbulkan keragaman dan diversifikasi dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
4.      Tujuan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan UU No. 23 tahun 1997 adalah sebagai berikut:
a.     Tercapainya keselarasan, keserasian, dan kesimbangan antara manusia dan lingkungan hidupnya.
b.    Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup.
2.6              Kegunaan AMDAL
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) memiliki beberapa kegunaan. Kegunaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang dapat diperoleh adalah:
1.      Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah.
2.      Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
3.      Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
4.      Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
5.      Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan.
6.      Memberikan alternatif solusi minimalisasi dampak negatif.
7.      Digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan.
2.7              Tujuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)
Tujuan umum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. Sementara tujuan studi AMDAL adalah mengidentifikasi rencana kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak penting, mengidentifikasi komponen atau parameter lingkungan yang akan terkena dampak penting, melakukan prakiraan dan evaluasi dampak penting sebagai dasar untuk menilai kelayakan lingkungan. Studi AMDAL diharapkan usaha dan/atau kegiatan pembangunan dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien, meminimumkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif terhadap lingkungan hidup. Proses AMDAL kemudian menjadi wajib dilakukan bagi setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak penting (Mukono, 2005).
2.8       Aturan Hukum Mengenai Lingkungan
Istilah “hukum lingkungan” merupakan konsepsi yang relatif masih baru dalam dunia keilmuan pada umumya dan dalam lingkungan ilmu hukum pada khususnya, yang tumbuh sejalan bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran akan lingkungan. Dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran melindungi dan memelihara lingkungan hidup tersebut, tumbuh pula perhatian hokum terhadap lingkungan. Pemikiran untuk mengkaji dan mengembangkan masalah lingkungan hidup di Indonesia untuk pertama kali dimulai pada tahun 1972, ketika Mochtar Kusuma-Atmadja menyampaikan beberapa pikiran dan sarannya tentang bagaimana pengaturan hukum mengenai masalah lingkungan hidup manusia dengan menunjukkan betapa pentingnya peranan hukum untuk keperluan tersebut. Adapun pengaturan hukum mengenai masalah lingkungan hidup manusia yang perlu dipikirkan,  menurut Mochtar Kusuma Atmadja adalah sebagai berikut:
1.   Peranan hukum adalah untuk menstrukturkan keseluruhan proses sehingga kepastian dan ketertiban terjamin. Adapun isi materi yang harus diatur ditentukan oleh ahli-ahli dari masing-masing sektor, di samping perencanaan ekonomi dan pembangunan yang akan memperhatikan dampak secara keseluruhan.
2.   Cara pengaturan menurut hukum perundang-undangan dapat bersifat preventif dan represif, sedangkan mekanismenya ada beberapa macam yang antara lain dapat berupa perijinan, insentif, denda dan hukuman.
3.     Cara pendekatan atau penanggulangannya dapat bersifat sektoral, misalnya perencanaan kota, pertambangan, pertanian, industri, pekerjaan umum, kesehatan dan lain-lain. Dapat juga dilakukan secara menyeluruh dengan mengadakan undang-undang pokok mengenai Lingkungan Hidup Manusia (Law on the Human Environment atau Environmental Act) yang merupakan dasar bagi pengaturan sektoral .
4.     Pengaturan masalah ini dengan jalan hukum harus disertai oleh suatu usaha penerangan dan pendidikan masyarakat dalam soal-soal lingkungan hidup manusia. Hal ini karena pengaturan hukum hanya akan berhasil apabila ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan itu di pahami oleh masyarakat dan dirasakan kegunaannya.
5.      Efektifitas pengaturan hukum masalah lingkungan hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari keadaan aparat administrasi dan aparat penegak hukum sebagai prasarana efektivitas pelaksanaan hukum dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Hukum lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dan memberi manfaat kepada masyarakat. Dengan kata lain harus ada kepastian hukum didalamnya. Dalam pembangunan hukum lingkungan,  diperlukan adanya kepastian hukum karena kepastian hukum menghendaki bagaimana hukumnya dilaksanakan, tanpa peduli bagaimana pahitnya (fiat justitia et pereat mundus : meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hal ini dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam masyarakat. Misalnya: “Barang siapa mencemarkan lingkungan maka ia harus dihukum”, ketentuan ini menghendaki agar siapapun (tidak peduli jabatannya) apabila melakukan pencemaran lingkungan maka ia harus dihukum.
A.    Undang – Undang Lingkungan Hidup
Pada tahun 1982, Indonesia menyusun undang-undang tersendiri mengenai kebijakan lingkungan hidup. Undang-undang yang mengatur hal ini ialah undang-undang no.4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN 1982 Nomor 12, TLN 3215). Sejak diundangkannya UU No. 4 Tahun 1982, berbagai produk peraturan perundang-undangan resmi telah berhasil ditetapkan sebagai kebijakan yang diharapkan dapat dijadikan pegangan dalam setiap gerak dan langkah pembangunan yang di lakukan, baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun badan-badan usaha. Seiring dengan perkembangan, maka UU No. 4 Tahun 1982 direvisi dengan  Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699). ). Pada dasarnya, UU No 23 Tahun 1997 telah menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, dimana hal undang-undang ini merupakan penyempurnaan terhadap undang-undang sebelumnya. Kemudian pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan instrumen hukum yang baru guna menggantikan UU No 23 tahun 1997 mengingat berbagai perubahan situasi dan kondisi terkait permasalahan Lingkungan Hidup yang terjadi di Indonesia. Karena itulah, perbedaan yang paling mendasar dari UU No 23 Tahun 1997 dengan UU No 32 Tahun 2009 adalah adanya penguatan pada UU terbaru ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi,partisipasi, akuntabilitas dan keadilan. Terdapat beberapa istilah dalam UU ini antara lain:
·         Lingkungan hidup
Adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.
·         Pengelolaan Lingkungan hidup
Merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
·         Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
Merupakan upaya sadar dan terencana yang memadu lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
·          Ekosistem
Adalah tatanan unsur lingkungan hidup dan merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi membentuk suatu keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan hidup.
·         Pelestarian lingkungan hidup
Adalah rangkaian upaya upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
·          Daya lingkungan hidup
Kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup.
·         Pelestarian daya dukung lingkungan hidup
Merupakan rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap terhadap tekanan perubahan dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain.
·         Daya tampung lingkungan hidup
Kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang dibuang kedalamnya.
·          Pelestarian daya tampung lingkungan hidup
Rangkaian upaya untuk melindungi daya tampung lingkungan hidup.
·         Sumber daya
Adalah unsur lingkungan hidup yang teriri dari sumber daya alam baik hayati maupun non hayati, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
·         Baku mutu lingkungan hidup
Ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada dan atau unsur pencemar yang keberadaanya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
·         Pencemaran lingkungan hidup
Merupakan masuknya atau dimasukannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang ,menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
·         Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
Merupakan ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati yang dapat diterima.
·         Perusakan lingkungan hidup
Merupakan tindakan yang menimbulkan perubahan langsung dan atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi untuk menunjang pembangunan berkelanjutan.
·          Konservasi sumber daya alam
Adalah pengelolaan sumber daya alam tak terbarui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumberdaya alam terbarui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
·         Limbah
Sisa suatu usaha atau kegiatan.
·         Bahan berbahaya dan beracun
Merupakan bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
·          Limbah bahan berbahaya dan beracun
Sisa suatu kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
·         Sengketa lingkungan hidup
Merupakan sengketa yang ditimbulkan karena adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
·          Dampak lingkungan hidup
Pengaruh perubahan terhadap lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha atau kegiatan.
·         Organisasi lingkungan hidup
Organisasi yang tujuan kegiatannya di bidang lingkungan hidup.
·          Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup
Kajian mengenai dampak besar dan dan penting suatu dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hoidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan suatu usaha atau kegiatan.
·         Audit lingkungan hidup
Proses evaluasi terhadap pertanggungjawaban terhadap ketaatan dalam menjaga lingkungan hidup
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup berisi:
·         Pelaksanaan   pengelolaan   lingkungan   hidup   dimaksudkan   untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunanberkelanjutan serta dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat  serta perkembangan lingkungan global.
·         Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak atas informasi yang berkaitan dengan peran dalam  pengelolaan  lingkungan  hidup  dan  setiap  orang  berhak  danberkewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup serta berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta   mencegah   dan   menanggulangi  pencemaran  dan  perusakan lingkungan hidup.
B.     Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, menteri Negara lingkungan hidup memutuskan untuk mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012 tentang keterlibatan masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan izin lingkungan. Berikut merupakan isi yang terdapat dalam peraturan tersebut:
Pasal 1
Pedoman keterlibatan masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan izin lingkungan dimaksudkan sebagai acuan:
a.         Pelaksanaan keterlibatan masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup; dan
b.        Pelaksanaan keterlibatan masyarakat dalam proses izin lingkungan
Pasal 2
Pelaksanaan keterlibatan masyarakat dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan izin lingkungan dilakukan berdasarkan pronsip dasar:
a.         Pemberian informasi yang transparan dan lengkap;
b.        Kesetaraan posisi diantara pihak-pihak yang terlibat;
c.         Penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana; dan
d.        Koordinasi, komunikasi dan kerjasama dikalangan pihka-pihak yang terkait.
Pasal 3
Pedoman keterlibatan masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
Pedoman keterlibatan masyarakat dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 memuat:
a.         Pendahuluan;
b.        Tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup; dan
c.         Tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam proses izin lingkungan.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 08 Tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

C.     Peraturan Pemerintah
Pemerintah telah mensahkan dan mengundangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan pada tanggal 23 Pebruari tahun 2012. Sejak saat itu PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang amdal telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Peraturan ini merupakan PP pertama yang selesai dibuat dari 20 PP yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPH) harus selesai satu tahun setelah UUPPH diundangkan. Artinya setelah hampir 3 Tahun usia UUPPH baru 1 peraturan pelaksananya berupa PP yang diselesaikan.
Peraturan Pemerintah tentang izin lingkungan ini telah menjawab pertanyaan para praktisi dan istitusi pengelola lingkungan hidup di negeri ini seperti apakah wujud dari izin lingkungan tersebut, apa bedanya dengan persetujuan kelayakan lingkungan, rekomendasi UKL-UPL, dan izin-izin yang sudah ada selama ini seperti izin pengelolaan limbah B3, izin land aplikasi, dan lain-lain.
Izin lingkungan adalah izin yang wajib dimiliki setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Dari defenisi tersebut dapat diketahui bahwa izin lingkungan dilakukan pada saat kegiatan belum dilaksanakan dan untuk mendapatkannya rencana usaha dan/atau kegiatan harus sudah memiliki dokumen amdal atau formulir UKL-UPL. Izin lingkungan ini akan menjadi persyaratan dalam memperoleh izin operasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Jadi izin usaha tidak akan diterbitkan jika izin lingkungan tidak ada dan izin lingkungan tidak akan diterbitkan jika tidak ada dokumen amdal atau formulir UKL-UPL.
PP ini mengatakan bahwa tata cara mendapatkan izin lingkungan seperti, harus menyampaikan:
a.         Dokumen Amdal atau formulir UKL-UPL;
b.        Dokumen pendirian Usaha dan/atau Kegiatan; dan
c.         Profil Usaha dan/atau Kegiatan.
Kemudian izin lingkungan tersebut sebelum diterbitkan terlebih dahulu harus diumumkan kepada masyarakat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk mendapatkan saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat. Saran, pendapat dan tanggapan tersebut disampaikan oleh wakil masyarakat yang terkena dampak yang menjadi anggota komisi penilai amdal. Penerbitan izin lingkungan dilakukan bersamaan dengan diterbitkannya keputusan kelayakan lingkungan atau rekomendasi UKL-UPL.
Izin lingkungan ini paling tidak memuat beberapa hal yaitu:
a.         Persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL;
b.        Persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota; dan
c.         Berakhirnya Izin Lingkungan. Masa berlaku izin lingkungan ini sama dengan masa berlaku izin usaha dan/atau kegiatan.
Peraturan pemerintah ini juga mewajibkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Izin ini berbeda dari izin lingkungan. Izin lingkungan diperoleh sebelum usaha dan/atau kegiatan beroperasi tetapi perizinan lingkungan dapat diperoleh setelah usaha dan/atau kegiatan beroperasi. Jenis perizinan lingkungan yang diatur dalam PP ini antara lain: izin pembuangan limbah cair, izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah, izin penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pengumpulan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pembuangan air limbah ke laut, izin dumping, izin reinjeksi ke dalam formasi, dan/atau izin venting.
Kewenangan Pusat, Provinsi dan kab/kota dalam hal penerbitan dan pengawasan izin lingkungan juga diatur dengan jelas dalam PP ini. Menteri menerbitkan izin lingkungan untuk rencana usaha dan/atau kegiatan yang Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL diterbitkan oleh Menteri;  Gubernur, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh gubernur; dan Bupati/walikota, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
Peraturan Pemerintah ini juga mengatur secara detail tentang amdal karena PP ini sekaligus juga merupakan pengganti terhadap PP nomor 27 tahun 1999 tentang amdal. Dalam PP 27 Tahun 2012 ini dikatakan bahwa dokumen amdal yang kita kenal selama ini terdiri dari 5 (lima) dokumen, sekarang menjadi 3 (tiga) dokumen yaitu dokumen KA-ANDAL, dokumen ANDAL dan dokumen RKl-RPL. Kewenangan komisi penilai amdal dan keanggotaan dalam komisi penilai amdal juga diatur secara rinci dalam PP ini.
Peraturan ini dengan tegas memberikan larangan kepada Pegawai Negeri Sipil Pegawai negeri sipil yang bekerja pada instansi lingkungan hidup Pusat, provinsi, atau kabupaten/kota menjadi penyusun amdal atau UKL-UPL kecuali dalam hal instansi lingkungan hidup Pusat, provinsi, atau kabupaten/kota bertindak sebagai Pemrakarsa, pegawai negeri sipil dimaksud dapat menjadi penyusun amdal atau UKL-UPL.
Salah satu yang menarik dari PP ini adalah adanya kejelasan dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran amdal dan UKL-UPL. Dengan PP nomor 27 tahun 1999 sulit melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran amdal dan UKL-UPL mengingat amdal dan UKL-UPL bukan keputusan tata usaha negara (TUN).  Pada PP nomor 27 Tahun 2012 ini, dimana jelas izin lingkungan yang didalamnya termuat amdal atau UKL-UPL merupakan keputusan TUN yang mempunyai konsekuensi hukum atas pelanggarannya sebagaimana diatur dalam UUPPH. Jadi amdal dan UKL-UPL yang selama ini dianggap dan dalam prakteknya hanya dibuat untuk memenuhi persyaratan mendapatkan izin operasional, dengan PP ini maka hal itu dapat dipastikan tidak akan terulang lagi. Pengenaan sanksi tidak hanya terhadap pemrakarsa tetapi juga kepada pemerintah.
Satu hal yang menjadi pertanyaan dengan keluarnya PP ini adalah apakah PP merupakan juga PP tentang amdal sebagaiman yang diamanatkan UUPPLH pada Pasal 33 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai amdal akan diatur dengan Peraturan Pemerintah atau hanya tentang Izin lingkungan sebagaimana diamanatkan dalam UUPPLH Pasal 41. Melihat substansi dari Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2012 dan melihat Pasal 74 dalam PP ini yang telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi PP nomor 27 tahun 1999 tentang amdal, maka seharusnya judul dari PP ini adalah  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 tentang Amdal dan Izin Lingkungan. Dengan demikian selain judulnya menggambarkan isinya, sekaligus juga sejalan dengan pemenuhan mandat UUPPLH bahwa akan ada PP yang mengatur tentang Amdal.
Dengan demikian sejak PP ini diberlakukan, maka seluruh aktifitas penysunan dan penilaian amdal dan pemeriksaan UKL-UPL sudah harus menyesuaikan dan terminologi izin lingkungan sudah dapat digunakan dalam proses pengurusan izin usaha dan/atau kegiatan. Dimana izin lingkungan akan diterbitkan bersamaan dengan penerbitan surat keputusan kelayakan lingkungan dan rekomandasi UKL-UPL. Dalam hal dokumen amdal, maka pemrakarsa hanya akan menyerahkan dokumen KA-ANDAL, ANDAL dan RKL-RPL kepada Tim Teknis atau Komisi Penilai AMDAL dan tidak wajib membuat Ringkasan Eksekutif.
D.    Keputusan Gubernur
Pembangunan yang semakin meningkat akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang semakin besar dan memerlukan pengendalian sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Pengaduan masyarakat atas kasus pencemaran maupun kerusakan lingkungan semakin meningkat sejalan dengan perkembangan pembangunan yang pesat dan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Diperlukan upaya penting dalam pengendalian dampak lingkungan adalah melakukan pengelolaan pengaduan kasus pencemaran maupun kerusakan lingkungan dan dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan lingkungan, perlu menetapkan Mekanisme Penanganan Pencemaran Lingkungan Hidup dengan keputusan Gubernur.


RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang lingkup mekanisme penanganan pencemaran lingkungan hidup meliputi:
a.       penanganan pencemaran lingkungan hidup dengan cara biasa;
b.      penanganan pencemaran lingkungan hidup secara dini (tindakan darurat);
c.       pelaksana utama/ujung tombak kegiatan ini berada pada tingkat Kotamadya/Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu.
Pasal 3
1.      Penanganan pencemaran lingkungan hidup dengan cara biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a melalui koordinasi antara instansi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup wilayah kotamadya/kabupaten administrasi Kepulauan Seribu.
2.      Penanganan pencemaran lingkungan hidup dengan cara dini (tindakan darurat) sebagaimana dimaksud dengan Pasal 2 huruf b, melakukan tindakan langsung bila terjadinya bahaya besar dan menelan korban jiwa.
LAPORAN MASYARAKAT
Pasal 4
1.      Laporan masyarakat di bidang lingkungan hidup sebagaimana dimaksud Pasal 2 dapat bersifat lokal dan lintas Kotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu;
2.      Laporan masyarakat di bidang lingkungan hidup dikategorikan bersifat lokal apabila lokasi kegiatan dan/atau usaha serta dampak lingkungannya berada di dalam wilayah suatu wilayah Kotamadya/ Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu;
3.      Laporan Masyarakat di bidang lingkungan hidup dikategorikan bersifat lintas Kotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu apabila lokasi kegiatan dan/atau usaha serta dampak lingkungannya meliputi dua atau Kotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu;
4.      Laporan masyarakat di bidang lingkungan hidup dikategorikan bersifat lintas Kotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu atau tingkat Provinsi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang telah terjadi telah mengakibatkan korban jiwa;
b.      Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dan dampaknya melintasi batas Provinsi;
c.       Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang disebabkan oleh limbah bahan berbahaya dan beracun;
d.      Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan di luar wilayah laut 4 s.d. 12 mil.
INSTANSI PENERIMA PENGADUAN
Pasal 5
1.      Instansi penerima pengaduan adalah:
a.       Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di tingkat Pemerintah Provinsi;
b.      Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di tingkat Pemerintah Kotamadya/Kabupaten Administrasi kepulauan Seribu.
2.      Pejabat penerima laporan yang bersifat lokal pada instansi penerima pengaduan sebagaimana dimaksud ayat (1) di tingkat wilayah adalah:
a.       Lurah, di kelurahan yang diduga terjadi pencemaran lingkungan;
b.      Camat, di Kecamatan yang diduga terjadi pencemaran lingkungan;
c.       Kasudin Perindag Wilayah;
d.      Kasudin Pariwisata Wilayah;
e.       Kasudin Kesehatan Wilayah;
f.       Kasudin Pengairan PU Wilayah;
g.      Kasudin Jalan PU Wilayah;
h.      Kasudin Peternakan, Perikanan dan Kelautan Wilayah;
i.        Kasudin Pertambangan Wilayah;
j.        Kasudin Kebersihan Wilayah;
k.      Kasudin Perumahan Wilayah;
l.        Kasudin Tata Kota Wilayah;
m.    Kasudin P2B Wilayah;
n.      Kepala BPLHD Wilayah;
o.      Walikotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu atau Kepala instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di daerah Kotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
3.      Pejabat penerima laporan di tingkat Provinsi adalah:
a.       Gubernur Provinsi DKI Jakarta;
b.      Kepala BPLHD Provinsi DKI Jakarta;
c.       Kepala Dinas Perindag Provinsi DKI Jakarta;
d.      Kepala Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta;
e.       Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta;
f.       Kepala Dinas Pengairan PU Provinsi DKI Jakarta;
g.      Kepala Dinas Jalan PU Provinsi DKI Jakarta;
h.      Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta;
i.        Kepala Dinas Pertambangan Provinsi DKI Jakarta;
j.        Kepala Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta;
k.      Kepala Perumahan Provinsi DKI Jakarta;
l.        Kepala Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta;
m.    Kepala Dinas P2B Provinsi DKI Jakarta;
n.      Kepala Biro ASP Provinsi DKI Jakarta.
4.      Pejabat penerima laporan yang bersifat lintas Kotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada instansi penerima pengaduan sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Gubernur atau Kepala instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di Daerah Provinsi untuk pengaduan masyarakat di bidang lingkungan hidup.
TATA LAKSANA PENGAJUAN LAPORAN
Pasal 6
1.      Apabila masyarakat yang mengetahui atau menduga telah terjadinya suatu pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat melaporkan kepada:
a.       Pejabat pemerintahan terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 untuk laporan masyarakat di bidang lingkungan hidup bersifat lokal;
b.      Pejabat pemerintah di tingkat provinsi sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat 2 untuk laporan masyarakat yang bersifat lintas wilayah;
c.       Pejabat pemerintah di tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 3 untuk masyarakat yang bersifat lintas wilayah.
2.      Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara lisan atau tertulis.
Pasal 7
1.      Dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) pelapor harus memberikan informasi yang jelas tentang adanya pencemaran;
2.      Apabila pelapor memiliki data-data pendukung seperti photo, peta, hasil analisa laboratorium, dan lain-lainnya dapat disertakan atau dilampirkan pada pengaduan.
TATA LAKSANA PENGELOLAAN LAPORAN
Pasal 8
1.      Petugas pengelola laporan pada instansi penerima laporan pencemaran lingkungan selanjutnya mempelajari data-data pengaduan untuk menentukan klasifikasi pengaduan.
2.      Hasil klasifikasi laporan pencemaran lingkungan hidup dan langkah penanganannya dikategorikan menjadi:
a.       Bukan laporan pencemaran lingkungan hidup.
b.      Setelah melalui verifikasi ternyata laporan pencemaran lingkungan oleh masyarakat benar.
Pasal 9
Untuk menyelesaikan laporan masyarakat tentang pencemaran lingkungan hidup dibentuk Tim Penanganan Pencemaran Lingkungan Hidup Tingkat Kotamadya/Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan Tim Penanganan Pencemaran Lingkungan Hidup Tingkat Provinsi yang ditetapkan dengan keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 10
Hasil temuan Tim Penanganan Pencemaran Lingkungan Hidup dapat berupa:
a.       Tidak merupakan kasus lingkungan tetapi permasalahan sosial lainnya seperti sengketa tanah, kecemburuan sosial dan sebagainya;
b.      Tidak terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, tetapi telah terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau perizinan di bidang lingkungan hidup;
c.       Telah terjadi pelanggaran yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diselesaikan dengan perdata atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan;
d.      Telah terjadi pelanggaran yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup maka penyelesaiannya diserahkan kepada Polisi dan PPNS untuk dilakukan penyidikan.

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 14 TAHUN 2010
TENTANG
DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG TELAH MEMILIKI IZIN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN TETAPI BELUM MEMILIKI DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :
a.       Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 121 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun;
b.      Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 121 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun;
c.       Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Telah Memiliki Izin Usaha Dan/Atau Kegiatan Tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup;



Mengingat :
      1.            Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
      2.            Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
      3.            Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
      4.            Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG TELAH MEMILIKI IZIN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN TETAPI BELUM MEMILIKI DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
      1.            Audit Lingkungan Hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
      2.            Dokumen lingkungan hidup adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang terdiri atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL), dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (DPPL), studi evaluasi mengenai dampak lingkungan hidup (SEMDAL), studi evaluasi lingkungan hidup (SEL), penyajian informasi lingkungan (PIL), penyajian evaluasi lingkungan (PEL), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPL), rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL-RPL), dokumen evaluasi lingkungan hidup (DELH), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPLH), dan Audit Lingkungan.
      3.            Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat DELH, adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari proses audit lingkungan hidup yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal.
      4.            Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat DPLH, adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL.
      5.            Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota adalah kepala instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota.
      6.            Kepala instansi lingkungan hidup provinsi adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup provinsi.
      7.            Deputi Menteri adalah Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang amdal.
      8.            Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

BAB II
TATA LAKSANA
DOKUMEN EVALUASI LINGKUNGAN HIDUP DAN DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Pertama
Kriteria
Pasal 2
      1.            DELH atau DPLH wajib disusun oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria:
a.       Telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
b.      Telah melakukan kegiatan tahap konstruksi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
c.       Lokasi usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan; dan
d.      Tidak memiliki dokumen lingkungan hidup atau memiliki dokumen lingkungan hidup tetapi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
      2.            DELH atau DPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun paling lama tanggal 3 Oktober 2011.
      3.            Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta bantuan kepada konsultan dalam penyusunan DELH atau DPLH.
      4.            Penyusunan DELH atau DPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tata laksana sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Kedua
Persyaratan Penyusunan Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup
Pasal 3
(1) Penyusun DELH harus memenuhi persyaratan:
a. Memiliki sertifikat pelatihan penyusun dokumen amdal, sertifikat kompetensi penyusun dokumen amdal, dan/atau sertifikat auditor lingkungan hidup bagi penyusunan DELH yang dilakukan sejak Peraturan Menteri ini ditetapkan sampai dengan tanggal 3 Oktober 2010; atau
b. Memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup yang teregistrasi bagi penyusunan DELH yang dilakukan antara tanggal 4 Oktober 2010 sampai 3 Oktober 2011.
(2) Penyusunan DELH menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Ketiga
Mekanisme Penetapan Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup
Pasal 4
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mengajukan permohonan penyusunan DELH kepada:

a. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota;
b. kepala instansi lingkungan hidup provinsi; atau
c. Menteri melalui Deputi Menteri
sesuai dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata kerja komisi penilai amdal.

Pasal 5
(1) Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan menyampaikan usulan penyusunan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada kepala instansi lingkungan hidup provinsi dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(2) Kepala instansi lingkungan hidup provinsi melakukan verifikasi usulan penyusunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan usulan penetapan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud.

Aturan Hukum tentang AMDAL
Kebijakan pengelolaan lingkungan pada suatu usaha atau kegiatan baik oleh perseorangan maupun badan hukum diatur dalam suatu peraturan. Kebijakan AMDAL telah dilakukan penerapan kebijakan pengelolaan lingkungan dengan menerbitkan aturan hukum berupa Undang-Undang (UU), peraturan pemerintah, dan peraturan menteri. Beberapa aturan hukum mengenai lingkungan hidup maupun AMDAL adalah sebagai berikut.
BAB III
PENILAIAN AMDAL DAN PEMERIKSAAN UKL-UPL
Bagian Kesatu
Kerangka Acuan
Pasal 20
1.      Kerangka Acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a disusun oleh Pemrakarsa sebelum penyusunan Amdal dan RKL-RPL.
2.      Kerangka Acuan yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada:
a.       Menteri melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal Pusat, untuk Kerangka Acuan yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal Pusat;
b.      gubernur melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal provinsi, untuk Kerangka Acuan yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal provinsi; atau
c.       bupati/walikota melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal kabupaten/kota, untuk Kerangka Acuan yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal kabupaten/kota.
3.      Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretariat Komisi Penilai Amdal memberikan pernyataan tertulis mengenai kelengkapan administrasi Kerangka Acuan.


Pasal 21
1.      Kerangka Acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 yang telah dinyatakan lengkap secara administrasi, dinilai oleh Komisi Penilai Amdal.
2.      Untuk melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Penilai Amdal menugaskan tim teknis untuk menilai Kerangka Acuan.
3.      Tim teknis dalam melakukan penilaian, melibatkan Pemrakarsa untuk menyepakati Kerangka Acuan.
4.      Tim teknis menyampaikan hasil penilaian Kerangka Acuan kepada Komisi Penilai Amdal.
5.      Dalam hal hasil penilaian tim teknis menunjukkan bahwa Kerangka Acuan perlu diperbaiki, tim teknis menyampaikan dokumen tersebut kepada Komisi Penilai Amdal untuk dikembalikan kepada Pemrakarsa.
Pasal 22
1.      Pemrakarsa menyampaikan kembali perbaikan Kerangka Acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) kepada Komisi Penilai Amdal.
2.      Kerangka Acuan yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh tim teknis.
3.      Tim teknis menyampaikan hasil penilaian akhir Kerangka Acuan kepada Komisi Penilai Amdal.
Pasal 23
Jangka waktu penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan/atau Pasal 22 dilakukan paling lama 30 (tigapuluh) hari kerja terhitung sejak Kerangka Acuan diterima dan dinyatakan lengkap secara administrasi.
Pasal 24
Dalam hal hasil penilaian tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) atau Pasal 22 ayat (3) menyatakan Kerangka Acuan dapat disepakati, Komisi Penilai Amdal menerbitkan persetujuan Kerangka Acuan.
Pasal 25
1.      Kerangka Acuan tidak berlaku apabila:
a.       perbaikan Kerangka Acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) tidak disampaikan kembali oleh Pemrakarsa paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak dikembalikannya Kerangka Acuan kepada Pemrakarsa oleh Komisi Penilai Amdal; atau
b.      Pemrakarsa tidak menyusun Amdal dan RKL-RPL dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya persetujuan Kerangka Acuan.
2.      Dalam hal Kerangka Acuan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemrakarsa wajib mengajukan kembali Kerangka Acuan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian Kerangka Acuan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Amdal dan RKL-RPL
Pasal 27
Pemrakarsa menyusun Amdal dan RKL-RPL berdasarkan:
a.       Kerangka Acuan yang telah diterbitkan persetujuannya; atau
b.      konsep Kerangka Acuan, dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 telah terlampaui dan Komisi Penilai Amdal belum menerbitkan persetujuan Kerangka Acuan.
Pasal 28
1.      Amdal dan RKL-RPL yang telah disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diajukan kepada:
a.       Menteri melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal Pusat, untuk Kerangka Acuan yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal Pusat;
b.      gubernur melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal provinsi, untuk Kerangka Acuan yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal provinsi; atau
c.       bupati/walikota melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal kabupaten/kota, untuk Kerangka Acuan yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal kabupaten/kota.
2.      Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekretariat Komisi Penilai Amdal memberikan pernyataan tertulis mengenai kelengkapan administrasi dokumen Amdal dan RKL-RPL.
3.      Komisi Penilai Amdal melakukan penilaian Amdal dan RKL-RPL sesuai dengan kewenangannya.
4.      Komisi Penilai Amdal menugaskan tim teknis untuk menilai dokumen Amdal dan RKL-RPL yang telah dinyatakan lengkap secara administrasi oleh sekretariat Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
5.      Tim teknis menyampaikan hasil penilaian atas dokumen Amdal dan RKL-RPL kepada Komisi Penilai Amdal.
Pasal 29
1.      Komisi Penilai Amdal, berdasarkan hasil penilaian Amdal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5), menyelenggarakan rapat Komisi Penilai Amdal.
2.      Komisi Penilai Amdal menyampaikan rekomendasi hasil penilaian Amdal dan RKL-RPL kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
3.      Rekomendasi hasil penilaian Amdal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a.       rekomendasi kelayakan lingkungan; atau
b.      rekomendasi ketidaklayakan lingkungan.
4.      rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan pertimbangan paling sedikit meliputi:
a.       prakiraan secara cermat mengenai besaran dan sifat penting dampak dari aspek biogeofisik kimia, sosial, ekonomi, budaya, tata ruang, dan kesehatan masyarakat pada tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi Usaha dan/atau Kegiatan;
b.      hasil evaluasi secara holistik terhadap seluruh Dampak Penting hipotetik sebagai sebuah kesatuan yang saling terkait dan saling memengaruhi, sehingga diketahui perimbangan Dampak Penting yang bersifat positif dengan yang bersifat negatif; dan
c.       kemampuan Pemrakarsa dan/atau pihak terkait yang bertanggung jawab dalam menanggulangi Dampak Penting yang bersifat negatif yang akan ditimbulkan dari Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan, dengan pendekatan teknologi, sosial, dan kelembagaan.
5.      Dalam hal rapat Komisi Penilai Amdal menyatakan bahwa dokumen Amdal dan RKL-RPL perlu diperbaiki, Komisi Penilai Amdal mengembalikan dokumen Amdal dan RKL-RPL kepada Pemrakarsa untuk diperbaiki.
Pasal 30
1.      Pemrakarsa menyampaikan kembali perbaikan dokumen Amdal dan RKL-RPL sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1).
2.      Berdasarkan dokumen Amdal dan RKL-RPL yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Penilai Amdal melakukan penilaian akhir terhadap dokumen Amdal dan RKL-RPL.
3.      Komisi Penilai Amdal menyampaikan hasil penilaian akhir berupa rekomendasi hasil penilaian akhir kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
Pasal 31
Jangka waktu penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan/atau Pasal 30 dilakukan paling lama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja, terhitung sejak dokumen Amdal dan RKL-RPL dinyatakan lengkap.
Pasal 32
1.      Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berdasarkan rekomendasi penilaian atau penilaian akhir dari Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 atau Pasal 30, menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup.
2.      Jangka waktu penetapan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya rekomendasi hasil penilaian atau penilaian akhir dari Komisi Penilai Amdal.
Pasal 33
1.      Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) paling sedikit memuat:
a.       dasar pertimbangan dikeluarkannya penetapan;
b.      pernyataan kelayakan lingkungan;
c.       persyaratan dan kewajiban Pemrakarsa sesuai dengan RKL-RPL; dan
d.      kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) huruf c.
2.      Dalam hal Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 34
Keputusan ketidaklayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) paling sedikit memuat:
a.       dasar pertimbangan dikeluarkannya penetapan; dan
b.      pernyataan ketidaklayakan lingkungan.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian Amdal dan RKL-RPL diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
UKL-UPL
Pasal 36
1.      Formulir UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang telah diisi oleh Pemrakarsa disampaikan kepada:
a.       Menteri, untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang berlokasi:
1)      di lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi;
2)      di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang dalam sengketa dengan negara lain;
3)      di wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas; dan/atau
4)      di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara lain.
b.      gubernur, untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang berlokasi:
1)      di lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;
2)      di lintas kabupaten/kota; dan/atau
3)      di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
c.       bupati/walikota, untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang berlokasi pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dan di wilayah laut paling jauh 1/3 (satu pertiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi.
2.      Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi formulir UKLUPL.
3.      Apabila hasil pemeriksaan kelengkapan administrasi formulir UKL-UPL dinyatakan tidak lengkap, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota mengembalikan UKLUPL kepada Pemrakarsa untuk dilengkapi.
4.      Apabila hasil pemeriksaan kelengkapan administrasi formulir UKL-UPL dinyatakan lengkap, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan pemeriksaan UKL-UPL.
5.      Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak formulir UKL-UPL dinyatakan lengkap secara administrasi.
Pasal 37
1.      Berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerbitkan Rekomendasi UKL-UPL.
2.      Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.       persetujuan; atau
b.      penolakan.
Pasal 38
1.      Rekomendasi berupa persetujuan UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a, paling sedikit memuat:
a.       dasar pertimbangan dikeluarkannya persetujuan UKLUPL;
b.      pernyataan persetujuan UKL-UPL; dan
c.       persyaratan dan kewajiban Pemrakarsa sesuai dengan yang tercantum dalam UKL-UPL.
2.      Dalam hal Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 39
Rekomendasi berupa penolakan UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b, paling sedikit memuat:
a.          dasar pertimbangan dikeluarkannya penolakan UKL-UPL; dan
b.         pernyataan penolakan UKL-UPL.
Pasal 40
Pemeriksaan UKL-UPL dan penerbitan Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 dapat dilakukan oleh:
a.       pejabat yang ditunjuk oleh Menteri;
b.      kepala instansi lingkungan hidup provinsi; atau
c.       kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan UKL-UPL dan penerbitan Rekomendasi UKL-UPL diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IV
PERMOHONAN DAN PENERBITAN IZIN LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Permohonan Izin Lingkungan
Pasal 42
1.      Permohonan Izin Lingkungan diajukan secara tertulis oleh penanggungjawab Usaha dan/atau Kegiatan selaku Pemrakarsa kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
2.      Permohonan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian Amdal dan RKL-RPL atau pemeriksaan UKLUPL.
Pasal 43
Permohonan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), harus dilengkapi dengan:
a.       dokumen Amdal atau formulir UKL-UPL;
b.      dokumen pendirian Usaha dan/atau Kegiatan; dan
c.       profil Usaha dan/atau Kegiatan.
Pasal 44
Setelah menerima permohonan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mengumumkan permohonan Izin Lingkungan.
Pasal 45
1.      Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
2.      Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui multimedia dan papan pengumuman di lokasi Usaha dan/atau Kegiatan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen Amdal dan RKL-RPL yang diajukan dinyatakan lengkap secara administrasi.
3.      Masyarakat dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diumumkan.
4.      Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan melalui wakil masyarakat yang terkena dampak dan/atau organisasi masyarakat yang menjadi anggota Komisi Penilai Amdal.
Pasal 46
1.      Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib UKL-UPL dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
2.      Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui multimedia dan papan pengumuman di lokasi Usaha dan/atau Kegiatan paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak formulir UKL-UPL yang diajukan dinyatakan lengkap secara administrasi.
3.      Masyarakat dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diumumkan.
4.      Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Bagian Kedua
Penerbitan Izin Lingkungan
Pasal 47
1.      Izin Lingkungan diterbitkan oleh:
a.       Menteri, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh Menteri;
b.      gubernur, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh gubernur; dan
c.       bupati/walikota, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh bupati/walikota.
2.      Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota:
a.       setelah dilakukannya pengumuman permohonan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44; dan
b.      dilakukan bersamaan dengan diterbitkannya Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL.
Pasal 48
1.      Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) paling sedikit memuat:
a.       persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL;
b.      persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota; dan
c.        berakhirnya Izin Lingkungan.
2.      Dalam hal Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan.
3.      Izin Lingkungan berakhir bersamaan dengan berakhirnya izin Usaha dan/atau Kegiatan.
Pasal 49
1.      Izin Lingkungan yang telah diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib diumumkan melalui media massa dan/atau multimedia.
2.      Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak diterbitkan.
Pasal 50
1.      Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan wajib mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan, apabila Usaha dan/atau Kegiatan yang telah memperoleh Izin Lingkungan direncanakan untuk dilakukan perubahan.
2.      Perubahan Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.       perubahan kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan;
b.      perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;
c.       perubahan yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup yang memenuhi kriteria:
1)      perubahan dalam penggunaan alat-alat produksi yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup;
2)      penambahan kapasitas produksi;
3)      perubahan spesifikasi teknik yang memengaruhi lingkungan;
4)      perubahan sarana Usaha dan/atau Kegiatan;
5)      perluasan lahan dan bangunan Usaha dan/atau Kegiatan;
6)       perubahan waktu atau durasi operasi Usaha dan/atau Kegiatan;
7)      Usaha dan/atau Kegiatan di dalam kawasan yang belum tercakup di dalam Izin Lingkungan;
8)      terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang ditujukan dalam rangka peningkatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan/atau
9)      terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar akibat peristiwa alam atau karena akibat lain, sebelum dan pada waktu Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan;
d.      terdapat perubahan dampak dan/atau risiko terhadap lingkungan hidup berdasarkan hasil kajian analisis risiko lingkungan hidup dan/atau audit lingkungan hidup yang diwajibkan; dan/atau
e.       tidak dilaksanakannya rencana Usaha dan/atau Kegiatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Izin Lingkungan.
3.      Sebelum mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan wajib mengajukan permohonan perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL.
4.      Penerbitan perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dilakukan melalui:
a.       penyusunan dan penilaian dokumen Amdal baru; atau
b.      penyampaian dan penilaian terhadap adendum Amdal dan RKL-RPL.
5.      Penerbitan perubahan Rekomendasi UKL-UPL dilakukan melalui penyusunan dan pemeriksaan UKL-UPL baru.
6.      Penerbitan perubahan Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam hal perubahan Usaha dan/atau Kegiatan tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal.
7.      Penerbitan perubahan Izin Lingkungan dilakukan bersamaan dengan penerbitan perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL.
8.      Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria perubahan Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, perubahan Rekomendasi UKL-UPL, dan penerbitan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 51
1.      Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya menerbitkan perubahan Izin Lingkungan.
2.      Dalam hal terjadi perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b, penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan menyampaikan laporan perubahan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
3.      Berdasarkan laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya menerbitkan perubahan Izin Lingkungan.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Kewajiban Pemegang Izin Lingkungan
Pasal 53
1.      Pemegang Izin Lingkungan berkewajiban:
a.       menaati persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Izin Lingkungan dan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b.      membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan terhadap persyaratan dan kewajiban dalam Izin Lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota; dan
c.       menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.      Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan secara berkala setiap 6 (enam) bulan.